Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Apa Jadinya Bila Reklamasi 14 Pulau Lainnya Pun Berhenti?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/faisal-mahrawa-5'>FAISAL MAHRAWA</a>
OLEH: FAISAL MAHRAWA
  • Kamis, 14 Juli 2016, 15:47 WIB
Apa Jadinya Bila Reklamasi 14 Pulau Lainnya Pun Berhenti?
net
MENURUT kabar yang berkembang, selain menjadi dirut PT Muara Wisesa pemilik Pulau G, Cosmas Batubara ternyata juga merupakan afiliasi dari PT Taman Harapan Indah, pemilik konsesi Pulau H.

Menjadi wajar bila mantan Menteri Muda Perumahan di era Suharto ini berang dengan kepretan Menko Kemaritiman RR yang mengevaluasi berat salah satu pulau yang sudah berjalan (20%) pembangunannya di Pulau G.

Gubernur DKI Jakarta Ahok malah menyarankan” pemimpin perusahaan anak Agung Podomoro Land ini untuk menuntut Pemerintah secara hukum, karena mungkin memang, selain sudah mengeluarkan izin, terdapat sejumlah besar dana non-budgeter pembangunan yang sudah digunakan Gubernur Ahok dari iuran Agung Podomoro Land.

Masalahnya, kemudian seorang Deputi Gubernur DKI menyatakan bahwa Kementerian Perhubungan melalui Direktur Jenderal Hubla di era Capt. Bobby R. Mamahit pernah mengeluarkan izin pada 11 Agustus 2015 (Menhub: Ignatius Jonan; Menko Kemaritiman: (masih) Indroyono Susilo).

Dirjen Hubla yang mengeluarkan izin tersebut, sudah menjadi tahanan KPK pada Februari 2016 karena kasus lain. Bila menilik rekam jejak sang Dirjen, artinya kemungkinan terdapat proses suap juga di kala izin dari Kementerian Perhubungan turun untuk Reklamasi Pulau G.

Untuk pertama kalinya Pemerintah Pusat melalui Kemenko Kemaritiman menghentikan pembangunan Pulau Reklamasi karena ditengarai melakukan pelanggaran-pelanggaran berat.

Hal ini sebenarnya menguatkan keputusan PTUN Jakarta yang memenangkan gugatan nelayan untuk menghentikan proses reklamasi Pulau G, dengan dalil-dalil utama: tidak ada partisipasi masyarakat dalam proses Amdal dengan tidak mengikuti Permen LH tentang Partisipasi Masyarakat; tidak menjadikan UU 27/2007 menjadi dasar yuridis terbitnya izin Reklamasi ditambah tidak RZWP3K; pelanggaran prinsip preventif di mana zin Reklamasi akan mengganggu nelayan, objek vital, dan lainnya. Yang intinya, menurut ketua majelis hakim PTUN Jakarta, Adhi Budi Sulistyo, reklamasi Pulau G tidak bersifat mendesak dan tidak ada kepentingan umum di dalamnya.

Dengan menghentikan Reklamasi Pulau G, pemerintah pusat dalam hal ini Kemenko Kemaritiman yang dipimpin oleh Rizal Ramli telah secara impilisit menyetujui keputusan PTUN Jakarta pada 31 Mei 2016 tersebut untuk berpihak kepada masyarakat luas.

Presiden Jokowi pun harus diberikan kredit yang sangat positif karena tidak pernah sekalipun namanya tercatat dalam dokumen perizinan Reklamasi selama dua tahun (Oktober 2012-Oktober 2014) dirinya menjabat Gubernur DKI. Seluruh izin prinsip Reklamasi, kecuali Pulau D yang diberikan Sutiyoso pada 2007, diberikan di era Gubernur Foke pada Juni-September 2012, hanya beberapa saat sebelum dirinya lengser karena kalah dari Jokowi di Pilkada DKI 2012. Foke juga telah mengeluarkan izin pelaksanaan untuk tiga pulau Reklamasi: C, D, E pada Agustus-September 2012.

Ahok, politisi yang paling beruntung/hoki belakangan ini karena numpang” popularitas Jokowi, menjadikan dirinya juga populer (setidaknya) di kelas menengah atas, malah memperpanjang kesemua izin prinsip Reklamasi pada Juni 2015. Saat itu Ahok masih menjabat pelaksana tugas (plt.) Gubernur DKI, karena Jokowi harus mengikuti proses Pilpres 2014 sejak Juni 2014.

Baru beberapa pulau (A, B, F, G, H, I, K) dikeluarkan izinnya oleh Ahok pada Oktober-November 2012 saat Jokowi telah dilantik menjadi Presiden. Maka menjadi tidak adil bila Ahok berusaha seret-seret Jokowi dalam persoalan Reklamasi Teluk Jakarta.

Ada yang berkata bahwa keputusan Menko Kemaritiman Rizal Ramli menghentikan Reklamasi Pulau G untuk selamanya adalah menyalahi rekomendasi Tim lintas kementerian (yang mengkaji aspek lingkungan, teknis, dan hukum Reklamasi) yang dibentuk di kantor Kemenko Kemaritiman beberapa bulan lalu. Sebenarnya opini tersebut salah, karena dalam hasil kajian teknis Tim tersebut juga, disebutkan bahwa hanya Pulau N (Pelindo II), C dan D (Agung Sedayu) harus membongkar pelanggaran penutupan kanal dahulu sebelum diloloskan. Sementara keempat belas pulau lainnya dihentikan untuk seterusnya.

Jadi bagaimana nasib 3 pulau milik grup Agung Sedayu lainnya (Pulau A, B, E), 8 pulau milik BUMD dan Pemda DKI Jakarta (Pulau F, I, J, K, L, O, P, Q), 1 pulau milik Mamik Suharto/Sri Hutami Endang Adiningsih (Pulau M), serta 1 pulau (F) milik PT Taman Harapan Indah yang berasosiasi langsung dengan Cosmas Batubara?

Jadi bila ditilik lagi, nuansa Orde Baru memang sangat kental dalam proses Reklamasi ini. Bagaimana tidak? Gubernur Ahok dalam pembelaannya pada Reklamasi selalu membawa-bawa Perpres zaman Orde Baru (Perpres Nomor 52 tahun 1995). Cosmas Batubara yang menjadi pendekar terdepan” merupakan aktivis yang mudanya menaikkan Suharto pada 1966 (menggulingkan Bung Karno), diangkat Suharto menjadi Menteri sejak 1978 (tahun yang sama dengan ditangkapnya Rizal Ramli muda karena melawan Orde baru), dan pernah menjabat sekretaris Dewan Pembina Golkar (Ketuanya Suharto).

Komisaris Utama salah satu BUMD yang mendapat konsesi Reklamasi (Pulau F), Kuntoro Mangkusubroto, juga sudah menjabat Dirjen Pertambangan sejak masa Orde Baru. Salah satu pulau (M) juga milik anak Suharto, Mamik. Bahkan menurut kabar, sebelum menjadi milik grup Agung Podomoro, pulau G yang izinnya diberhentikan Rizal Ramli ini adalah milik Tommy Suharto!

Jadi, konsekuensi logis bila kelak Pemerintah Pusat juga menghentikan Reklamasi lainnya, paling-paling yang dilawan adalah kekuatan Orde Baru. ***

Penulis adalah Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kantor Berita Politik RMOL

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA