Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tolak Presidential Threshold, Demokrat: Pilihan Rakyat Jangan Dibatasi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Kamis, 20 Juli 2017, 19:15 WIB
Tolak Presidential Threshold, Demokrat: Pilihan Rakyat Jangan Dibatasi
Paripurna RUU Pemilu/RMOL
rmol news logo Anggota Fraksi Partai Demokrat, Benny Kabur Harman menegaskan fraksi partai berlambang bintang mercy itu menolak adanya ambang batas presiden atau presidential threshold (preshold). Demokrat juga menolak dengan tegas usulan pemerintah yang ingin preshold di angka 20 sampai 25 persen.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

"Presidential Threshold sama sekali tidak ada relevansinya untuk diterapkan dalam pemilu serentak 2019. Untuk itu kami secara tegas menolak penentuan besaran ambang batas pencalonan presiden," tegasnya dalam membacakan sikap fraksi dalam rapat paripurna di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis (20/7).

Menurut dia, ada beberapa alasan bagi partai besutan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu menolak ambang batas pencalonan presiden. Pertama karena presidential threshold ‎dalam Pemilu 2019 tidak sesuai dengan hukum, logika dan akal sehat. Pemberlakuan presidential threshold kata dia hanya relevan saat Pemilu tidak berlangsung secara serentak.

Alasan kedua, presidential threshold tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa pada Pemilu 2019 pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) dilaksanakan serentak.

"Dengan putusan MK tersebut, semua parpol peserta Pemilu mempunyai kedudukan, hak dan kewajibannya yang sama di depan hukum. Namun dengan adanya ketentuan Ambang Batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tersebut jelas bersifat diskriminatif karena membeda-bedakan status dan kedudukan setiap parpol Peserta Pemilu khususnya berkaitan dengan hak mengajukan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden," jelasnya.

Adapun alasan ketiga, Demokrat berpandangan parpol peserta Pemilu 2019 tidak hanya berasal dari parpol yang ikut Pemilu 2014 saja, melainkan ada parpol yang pada 2019 baru menjadi peserta pemilu. Maka dari itu hasil Pileg 2014 yang digunakan sebagai rujukan untuk Pilpres 2019 sangat jelas akan membatasi hak parpol yang pada 2019 baru menjadi peserta Pemilu.

Alasan keempat, Demokrat berpandangan adanya ketentuan yang mensyaratkan hanya parpol dan gabungan parpol peserta Pemilu yang memperoleh dukungan 20 persen kursi di DPR RI atau 25 persen perolehan suara sah dalam Pemilu 2014 sangat jelas terkandung maksud atau niat untuk membatasi dan menutup peluang bagi munculnya figur-figur alternatif dalam kontestasi Pemilu Presiden pada tahun 2019 yang akan datang.

"Pilihan rakyat dibatasi sehingga rakyat yang berdaulat menjadi apatis dalam Pemilu," tambahnya.

Sementara alasan kelima, masih terkait dengan butir keempat di atas, Fraksi Partai Demokrat berpandangan bahwa RUU Penyelenggaraan Pemilu sejatinya harus mendorong munculnya calon-calon pemimpin alternatif agar persaingan dalam demokrasi elektoral semakin meningkat dan semakin baik termasuk partisipasi dan kualitasnya.

Demokrasi yang mempersempit pilihan rakyat apalagi untuk menutup terjadinya persaingan sehat dalam Pemilu, kata Benny jelas akan gagal menghasilkan pemimpin yang berkualitas dengan dasar legitimasi yang kuat dari rakyat.

"Ingat! Dalam kehidupan demokrasi, rakyatlah yang berdaulat, rakyatlah yang memilih pemimpinnya, dan bukan partai partai politik," imbuhnya.

Untuk alasan yang keenam, sesuai dengan konstitusi yang berlaku, lanjut Benny, siklus kepemimpinan nasional berlangsung 5 tahunan, baik untuk memilih anggota legislatif maupun presiden dan wakil presiden. Apabila hasil Pemilu Legislatif 2014 dipergunakan kembali dalam penentuan Ambang Batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (Presidential Threshold) 2019, maka siklus penggantian kepemimpinan nasional bukan lagi 5 tahunan, melainkan 10 tahunan.

Menurut Demokrat, sangat mungkin hasil Pemilu Legislatif 2019, hasilnya akan berbeda jauh dengan hasil Pemilu Legislatif 2014.

"Siapa yang dapat menjamin hasil Pemilu Legislatif 2014 akan sama dengan Pemilu Legislatif 2019?," tanya Benny.

Alasan ketujuh, tambah Wakil Ketua Komisi III DPR RI ini, Fraksi Partai Demokrat berpandangan bahwa hukum Pemilu yang didesain sekarang hendaknya mampu mendorong terjadinya penguatan sistem presidensiil dimana Presiden tidak disandera oleh Partai Politik pendukungnya.

Jika nanti sudah tersandera, Demokrat berpandangan hal itu akan menyulitkan Presiden memenuhi janji- janji politiknya dalam kampanye. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang secara expresis verbis memerintahkan pelaksanaan Pemilu Legislatif harus serentak dengan Pemilu Presiden pada intinya dimaksudkan untuk memperkuat presiden dalam sistem presidensiil multipartai tanpa tersandera oleh kepentingan Partai Politik pendukungnya.

Alasan kedelapan, Demokrat menegaskan bahwa adanya ketentuan yang menggunakan Hasil Pemilu Legislatif 2014 sebagai syarat untuk parpol atau gabungan parpol dalam mengajukan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden pada Pemilu 2019 jelas merupakan kontradiksi (contradictio in terminis) dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang intinya Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden secara mandatory harus diadakan serentak.

"Itu terkandung maksud tidak ada lagi Ambang Batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu Presiden 2019 karena Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tersebut akan dilaksanakan serentak," lanjutnya.

Atas dasar itu, Fraksi Partai Demokrat memandang ketentuan Ambang Batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu Presiden 2019 dengan menggunakan hasil Pileg 2014 yang lalu adalah sebuah kekeliruan atau kesesatan cara pikir juridis yang harus diluruskan sebelum bangsa dan negara ini jatuh ke dalam kondisi yang disebut dengan constitutional fallacy.[san]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA