Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Redenominasi Rupiah

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fuad-bawazier-5'>FUAD BAWAZIER</a>
OLEH: FUAD BAWAZIER
  • Kamis, 20 Juli 2017, 20:09 WIB
Redenominasi Rupiah
Net
SEBAGAIMANA dinyatakan baru-baru ini oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Gubernur BI Agus Marto bahwa pemerintah melalui RUU Redenominasi Rupiah ingin segera mengecilkan bilangan atau penyebutan Rupiah. Ini bukan pemotongan uang atau revaluasi rupiah terhadap valuta asing (valas) tetapi semata-mata penyederhanaan bilangan atau  hitungan.

Karena isunya memang sederhana maka jangan kaget kalau RUU Redenominasi Rupiah ini hanya terdiri dari 17 pasal.

Penyederhanaan dengan redenominasi ini sebenarnya sudah  terlebih dahulu berlangsung di masyarakat. Memasuki restoran, cafe dan toko toko tertentu di kota kota besar, harga-harga barang dicantumkan tanpa angka ribuan. Penghilangan tiga angka nol itu ternyata tidak membingungkan atau menyesatkan pengunjungnya.

Harga harga yang tercantum jadi kelihatan rapi dan tidak "menakutkan'. Orang orang asing yang tinggal di Indonesia nampaknya lebih menyukai penyederhanaan atau perampingan penulisan rupiah, termasuk penyebutan harga dengan menanggalkan bilangan ribuannya. Sudah lazim  harga Rp100.000,- akan dicantumkan menjadi Rp 100 dan disebutkan 100, meski tentu saja yang dimaksudkan adalah Rp 100.000 dan pembeli juga membayarnya dengan uang senilai Rp 100.000. Tidak ada kesalahpahaman.

Dalam berbagai laporan keuangan yang menyantumkan Rupiah, hampir selalu disederhanakan dalam ribuan, jutaan atau milyaran. Contohnya laporan keuangan perusahaan/ perbankan di surat kabar yang selalu mengecilkan penulisan atau penyebutan angka Rupiahnya dalam ribuan atau jutaan rupiah. Apalagi Nota Keuangan dan RAPBN yang diajukan pemerintah ke DPR biasanya disajikan dalam jutaan atau miliaran.

Sebenarnya dalam pembicaraan sehari-hari baik di kalangan elit maupun rakyat kecil, di pasar modern maupun tradisionil, di kota maupun di desa, hampir dapat di pastikan budaya  meringkas atau menyederhanakan angka atau bilangan rupiah itu lazim berlaku.

Dalam wawancara dengan Menteri perdagangan di pasar tradisionil misalnya, para pedagang pasar akan menyebutkan angka 7,5 untuk harga Rp 75.000 atau 90 untuk harga Rp 90.000, dan lawan bicaranya itu mengerti persis apa atau berapa yang sebenarnya dimaksud.

Tetapi ketika bilangan yang sama disebutkan oleh pedagang sepeda motor, tentu 7,5 itu bermakna Rp 7,5 juta alias dalam jutaan. Kalau di bursa mobil bekas misalnya, 90 yang dikatakan bermakna Rp 90 juta. Praktek yang sudah lazim ini praktis berlaku bila berkaitan dengan penyebutan bilangan harga atau penulisan rupiah. Tegasnya, seseorang tidak akan menyebutkan 10 untuk nomor rumah atau nomor surat 10.000 misalnya. Atau nomor penerbangan 3.000 tidak akan disebutkan atau dikatakan tiga atau 30.

Pertimbangan lain adalah bahwa nilai mata uang suatu negara yang terlalu rendah sehingga sangat jauh berbeda dari nilai mata uang negara lainnya mengesankan ada yang salah dalam pengelolaan ekonomi negara tersebut. Nilai kurs (nilai tukar) mata uang yang rendah di bursa valas selintas juga mengesankan harga barang dan  jasa di negara itu mahal atau mengesankan amburadulnya ekonomi negara tersebut. Rasanya sulit membangun kepercayaan terhadap perekonomia yang mata uang yang nilai tukarnya rendah atau jatuh.

Rupiah yang berlaku sekarang ini sebenarnya sudah berlangsung sejak 1966 ketika pemerintah melakukan pemotongan uang Rp 1.000 menjadi Rp 1 yang sempat membuat masyarakat panik dan harus mengganti uang Rupiah yang beredar dengan uang Rupiah baru. Saat itu antrian penukaran uang terjadi dimana-mana dan karena kehilangan kepercayaan terhadap Rupiah masyarakat membeli barang apa saja yang bisa dibayar atau menerima uang lama.

Inflasi yang berlangsung selama 50 tahun (1967-2017) tentu telah menggerogoti nilai Rupiah sehingga kini semua bilangan harga minimal dalam ribuan. Oleh karena itu sudah tepat bila pemerintah dan Bank Indonesia kini berkehendak menyederhanakan nilai Rupiah mengikuti pola atau budaya yang sudah berlangsung mulus di masyarakat selama ini. Dalam penerbitan/pengedaran uang baru sebagai pengganti uang yang telah lama beredar, Bank Indonesia akan menerbitkannya dalam bilangan baru sesuai dengan kesepakatan nantinya dengan DPR sesuai dengan RUU-nya. Misalnya Rp 100 uang baru untuk Rp 100.000 uang lama atau Rp 50 untuk Rp 50.000 dan seterusnya.

Tentunya uang baru ini akan beredar bersama sama atau berdampingan dengan uang lama, agar tidak ada kejutan atau kepanikan. Dalam jangka waktu lima tahun, diperkirakan uang lama telah habis tersedot masuk kembali ke BI dan yang beredar tinggal uang baru. Dalam tahun pertama saja diperkirakan masyarakat sudah terbiasa dengan adanya dua mata uang yang beredar (lama dan baru) dan cenderung lebih suka menggunakan uang dengan nominal yang baru. Kurs rupiah terhadap Dolar pun akan menjadi USD 1 sama dengan Rp 13, dan Rupiah nampak lebih berwibawa atau bergengsi.

Cara yang mulus ini sudah dipraktekkan di Turki dan berhasil. Begitu pula di Yaman pada awal tahun 1990-an saat Yaman Utara dan Yaman Selatan disatukan menjadi satu negara dimana masing masing membawa mata uangnya sendiri dengan nilai yang berbeda beda tapi berlaku bersama menunggu mata uang baru. Selamat pada BI dan pemerintah dengan redenominasi Rupiah. [***]

Penulis adalah mantan Menteri Keuangan RI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA