Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

UU Pemilu Cacat Fundamental

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Rabu, 26 Juli 2017, 16:20 WIB
UU Pemilu Cacat Fundamental
Pengesahan UU Pemilu DPR/RMOL
rmol news logo Konsultan politik Denny JA menilai Undang-Undang Pemilu yang baru saja disahkan DPR memiliki cacat fundamental.

Seperti diketahui, UU Pemilu mengatur pemilu serentak bagi Presiden dan DPR. UU ini juga menggunakan perolehan suara partai di pemilu 2014 sebagai basis untuk ambang batas capres 2019. UU Pemilu yang baru disahkan DPR, kata Denny cacat untuk tiga nilai utama demokrasi.

"Pangkal utama cacat dari undang undang itu adalah memaksakan hasil pemilu 2014 digunakan sebagai ambang batas untuk calon presiden pada pemilu berikutnya di 2017," kata pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) itu melalui keterangan tertulis kepada redaksi, Rabu (26/7).

Menurut pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) ini ada tiga hal mengapa UU Pemilu 2017 itu disebut cacat. Pertama, dilanggarnya prinsip kesamaan hak dan posisi hukum partai politik. Undang-undang Pemilu memberikan ruang bagi hadirnya partai baru, yang untuk pertama kali akan ikut pemilu di tahun 2019. Namun partai baru itu tak diberikan hak yang sama kepada partai baru itu untuk menentukan calon presiden.

"Basis dukungan yang dihitung untuk presidential threshold pemilu 2019  hanya milik partai lama, yang ikut pemilu di tahun 2014 saja," tegas Denny.

Kedua, UU Pemilu meniadakan hak warga untuk tak setuju pilihannya pada partai di satu pemilu  digunakan untuk basis kekuatan partai itu pada pemilu berikutnya.

Situasi politik dan ekonomi, serta kesadaran warga sudah sangat mungkin berbeda. Setiap warga sangat mungkin mengidolakan partai tertentu dan tokoh tertentu di satu pemilu. Namun pada pemilu berikutnya, partai dan tokoh itu bisa pula berubah justru menjadi musuh utamanya.

"Itu sebabnya mengapa dukungan partai itu berubah pada setiap pemilu. Bahkan PDIP pada tahun 1999 mendapatkan dukungan di atas 33 persen. Tapi pada pemilu berikutnya (2004) tersisa hanya hampir separuhnya saja yakni di bawah 19 persen," lanjut Denny.

Ketiga, ambang batas Presiden (Presidential Treshold) 20 hingga 25 persen sebagai syarat pengajuan capres 2019  mengacaukan pula desain kelembagaan demokratis yang ingin diterapkan di Indonesia. Tetap dipaksakannya presidential threshold bagi pemilu serentak bahkan diwacanakan untuk memperkuat sistem presidentialisme.

"Kenyataannya, ambang batas capres itu justru memperlemah sistem presidential murni. Ia justru mencampurkan dua desain kelembagaan, membuat capres bergantung pada koalisi parlemen. Basis pencalonan capres justru posisinya dibuat oleh UU ini bergantung pada kekuatan partai (ambang batas) di parlemen," demikian Denny.[san]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA