Begitu ditegaskan Ketua Setara Institute Hendardi, dalam surat elektronik yang diterima, Sabtu (2/8).
"Diperlukan campur tangan dunia internasional terhadap tragedi kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya, " kata dia.
Menurut Hendardi, melihat realitas yang dialami etnis Rohingya tersebut negara-negara Asean tidak bisa berlindung di balik prinsip menghormati kedaulatan Mynamar atas tragedi ini.
Justru, kata dia lagi, pembiaran dunia internasional atas Rohingya diduga kuat memiliki motivasi politik ekonomi kawasan, sehingga Aun San Su Kyi terus memperoleh proteksi politik, karena belum ada rezim pengganti yang potensial dan akomodatif menjaga kepentingan sejumlah negara-negara yang memiliki kepentingan kuat.
Walau begitu, Setara Institute melihat krisis Rohingya lebih merupakan krisis yang lebih besar didorong oleh dinamika politik dalam negeri Myanmar.
Dengan demikian, potensi gangguan keamanan terhadap kawasan tidak akan menyebar sebagaimana penyebaran kelompok ideologis ISIS.
"Gangguan keamanan dalam negeri dan kawasan lebih berupa meningkatnya asylum seeker/pencari suaka ke Indonesia dan sejumlah kawasan lain."
Hendardi mengatakan, para pencari suaka adalah
problem human security dan kewajiban negara-negara untuk mencari resolusi terbaik bagi Rohingya.
Menurut dia, selain secara etis, secara politik pemerintah juga harus mengantisipasi kelompok-kelompok masyarakat yang mengkapitalisasi isu ini untuk kepentingan politik dalam negeri.
"Populisme agama akan mendapat tempat kokoh di tengah krisis kemanusiaan semacam ini, apalagi aktor yang terlibat dalam krisis, berbeda secara diameteral dalam soal agama dan etnis," jelas Hendardi.
Apalagi diskriminasi ganda dan dugaan genosida atas dasar agama dan etnis yang dialami oleh Rohingya sangat mungkin menghimpun solidaritas dan dukungan publik. "Nah, jika pemerintah tidak mengambil langkah politik, potensi ketegangan sosial di dalam negeri juga cukup tinggi," terangnya.
Indikasi keterlibatan tentara Myanmar merupakan bukti bahwa kekerasan tersebut dipelopori oleh negara. Selain intervensi kemanusiaan, advokasi Myanmar juga sangat memungkinkan untuk dipersoalkan dalam kerangka kejahatan universal, karena genosida merupakan salah satu kejahatan internasional yang termasuk kompetensi absolut International Criminal Court (ICC) dengan yurisdiksi internasional.
"Atas nama kemanusiaan, pemerintah Indonesia harus menjadi pelopor penanganan Rohingya," demikian Hendardi.
[sam]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: