Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Gerindra: Jokowi Jangan Nyeleneh Tuding Daya Beli Menurun Dipolitisasi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Jumat, 06 Oktober 2017, 15:03 WIB
Gerindra: Jokowi Jangan Nyeleneh Tuding Daya Beli Menurun Dipolitisasi
Heri Gunawan/Net
rmol news logo . Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengatakan bahwa isu daya beli masyarakat menurun dihembuskan oleh lawan politik untuk kepentingan Pilpres 2019.

Menurut politisi Partai Gerindra ini, berbicara soal daya beli masyarakat sama saja berbicara soal politik ekonomi. Nah, jika kebijakan politik ekonominya keliru, maka sudah pasti kebijakan daya beli juga akan ikut keliru.

"Dari data BPS (Badan Pusat Statistik) 2017 tercatat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II tahun ini 5,01 persen. Angka itu lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 5,18 persen. Penurunan itu ditandai oleh penurunan konsumsi rumah tangga yang menjadi indikator untuk mengukur daya beli," ujar Heri kepada redaksi, Jumat (6/10).

Data BPS, kata dia juga menunjukan bahwa konsumsi rumah tangga kuartal II 2017 hanya mencapai 4,95 persen atau hanya naik tipis dibandingkan kuartal sebelumnya yang pertumbuhannya 4,94 persen. Perlambatan juga terlihat dari konsumsi rumah tangga pada kuartal II tahun lalu yang mencapai 5,07 persen.

Heri menyimpulkan bahwa memang saat ini sedang terjadi distorsi pada daya beli masyarakat. Hal itu kata dia tak bisa dibantah. Oleh karena itu, pemerintah jangan tiba-tiba menjawabnya dengan 'enteng' bahwa hal tersebut adalah politisasi.

"Pemerintah mustinya lebih peka dan tidak anti kritik. Daya beli masyarakat bukanlah hal sepele dan nyeleneh. Sebab, jangan sampai publik melihat lesunya daya beli saat ini karena pemerintah suka nyeleneh," kata dia memperingatkan.

Sebab, lanjut Heri, kalau dilihat dari angka yang ada, daya beli masyarakat tumbuh sangat tipis. Yakni dari 4,94 persen pada kuartal I tahun ini menjadi 4,95 persen pada kuartal II. Namun, angka itu menurutnya menurun tajam jika dibandingkan periode yang sama kuartal II tahun 2016 yang mencapai 5,07 persen.

"Itu fakta yang tidak nyeleneh," tegasnya.

Lebih lanjut Heri mengatakan bahwa kondisi riil daya beli masyarakat saat ini sesungguhnya bisa dilihat dari data statistik. Dimana faktanya saat ini konsumsi rumah tangga sedang terjadi perlambatan.

"Kuartal II 2016 sebesar 5,07 persen turun ke angka 4,95 persen di kuartal II Tahun 2017. Artinya, daya beli kita memang sedang terdistorsi. Soal shifting dari offline ke online tak bisa jadi pegangan," tegasnya lagi.

Sementara itu, tambahnya, survei keyakinan masyarakat terhadap ekonomi menunjukkan pelemahan sejak Mei 2017. Dimana pada kondisi terakhir di September 2017 menurun 0,3 poin dari angka Agustus 2017. Pelemahan itu disebabkan oleh penurunan indeks penghasilan. Hal itu terbukti dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) membeberkan keluhan sepinya gerai para anggotanya. Misalkan PT. Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET) yang sepanjang Semester I tahun 2017 mengalami penurunan laba bersih hingga 71,03 persen dari periode yang sama tahun lalu, atau dari Rp105,5 miliar menjadi Rp30,5 miliar.

"Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah penurunan daya beli masyarakat," bebernya.

Tak hanya itu, usaha penyewaan ruang perkantoran di kawasan bisnis pun juga turun 18 persen. Selanjutnya, selama Januari sampai Juli 2017 penjualan sepeda motor merosot sebesar 13,1 persen. Pada Juni 2017 malah turun 30 persen dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya. Bahkan, Gabungan Pengusaha Makanan Dan Minuman Indonesia (GAPMMI) tegas menyatakan bahwa daya beli masyarakat turun 10 persen dibanding tahun lalu.

Lesunya transaksi jual beli pun menurut anak buah Prabowo Subianto ini juga dirasakan oleh warung-warung kopi dengan segmen pasar anak-anak muda. Dimana kalangan remaja dan pemuda kelas menengah bawah memiliki batas kemampuan beli yang merosot, bahkan hanya untuk menikmati kopi.

"Uang jajan ekstra yang dulunya bisa Rp 35.000-50.000 di kantong, kini tidak ada lagi. Bukti penjualan yang menurun juga terjadi di masa jelang Hari Raya Idul Fitri lalu di pusat perbelanjaan tekstil Tanah Abang, Jakarta Pusat. Penjualan rata-rata pedagang Tanah Abang diprediksi melorot sampai 30 persen dibanding tahun lalu. Kemerosotan 50 sampai 70 persen dikabarkan terjadi merata di Blok A, B dan F. Itu semua adalah fakta yang tak mungkin bisa berbohong," papar Heri.

Nah, untuk mengatasi semua permasalahan itu, menurut dia pemerintah tidak boleh menganggap sepele dan nyeleneh atas lesunya daya beli masyarakat.

"Apalagi disangkutkan dengan isu yang seolah-olah digoreng partai oposisi. Yang jelas, bagaimanapun fakta dari data BPS dan di lapangan bahwa daya beli memang menurun," ungkapnya.

Selanjutnya tambah Heri, pemerintah sebaiknya memastikan tidak adanya distorsi pada daya beli masyarakat yang ditunjukkan oleh penurunan konsumsi rumah tangga.

"Terakhir, melemahnya daya beli tidak tertutup kemungkinan karena arah kebijakan ekonomi yang belum mampu menciptakan trikcle down effect. Semua masih didominasi oleh sektor finansial tak langsung. Sektor-sektor produktif masih loyo," pungkas Heri. [rus]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA