Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

"Tirani" Praperadilan?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zainal-bintang-5'>ZAINAL BINTANG</a>
OLEH: ZAINAL BINTANG
  • Sabtu, 07 Oktober 2017, 07:24 WIB
"Tirani" Praperadilan?
Foto/Net
MENGEJUTKAN…..! Forum praperadilan yang berbiaya minim bisa mementahkan argumentasi lembaga hukum yang berbiaya jumbo. Kisah getir yang dialami KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dalam kaitan kasus tersangka SN (Setya Novanto) menjadi perbincangan publik.

Timbul trauma dalam masyarakat. Kedigdayaan KPK sebagai andalan pemberantasan korupsi berkelas kakap yang diemban pejabat negara dipertanyakan.

Lembaga praperadilan mencuat mengundang decak. Seolah dia adalah sebuah temuan baru dalam dunia hukum. Yang justru berguna untuk memotong "tangan" hukum itu sendiri.

Menariknya, karena "temuan" baru itu mendadak menjadi trend di tengah sesaknya nafas aktor politik kelas tinggi di semua lini: eksekutif, legislatif, yudikatif dan dunia usaha, lantaran dideteksi lambat atau cepat menjadi burunon KPK. Daftar tunggu KPK adalah berita pahit yang mempersulit tersenyum.

Trend baru itu mencuat melalui putusan hakim tunggal Cepi Iskandar pada Pengadilan Negeri RI, dikabulkan  pada Jumat 29 September 2017.

Hal itu, dengan sendirinya membuat gugur status tersangka dugaan korupsi pengadaan e-KTP yang disandang SN selama 77 hari. Dari 17 Juli-29 September 2017.

Keterbebasan dari label tersangka, menjadi ihwal yang penting bagi SN. Ironisnya label tersangka disandang seorang ketua umum parpol besar sekaligus ketua lembaga legislatif.

Tidak kurang getirnya fakta kekalahan itu bagi KPK. Kekalahan KPK dalam kasus gugatan praperadilan SN adalah yang keempat.

KPK menghadapi medan berat ketika menangani kasus SN. Karena yang disasar adalah politisi tingkat nasional dan petinggi parpol beken. Terindikasikan akan menjaring sejumlah aktor lintas parpol Senayan.

Ini yang membedakan dengan kualitas kasus praperadilan yang sempat mengalahkan KPK. Kasus BG (Budi Gunawan) dan HP (Hadi Purnomo) misalnya. Di belakang mereka tidak ada tokoh politik ternama yang terancam akan terseret.

Besarnya bobot politik dan implikasi kasus SN dalam konteks megakorupsi e-KTP inilah yang kurang diantisipasi KPK. Di luar dugaan muncul perlawanan masif anggota DPR RI untuk membentengi, - kalau tidak mau dikatakan untuk memotong langkah KPK, - terbongkarnya megakorupsi yang menimpa teman sejawat mereka.

Terkesan KPK kurang siap, - paling tidak, - KPK tidak menyangka jika upaya mereka membongkar kasus megakorupsi e-KTP, dapat dikatakan seperti "membangunkan macan tidur".

Selain canggihnya langkah politik yang diambil oleh legislator Senayan, pada saat yang sama KPK juga sedang dilanda persoalan "pembusukan" internal. Langkah politik besar yang diambil legislator Senayan atas nama hukum, adalah dengan membentuk Pansus Hak Angket KPK (Panitia Khusus).

Melalui legitimasi dan kewenangan yang masif Pansus Angket, legislator hilir mudik menekan gerakan KPK. Mengadakan acara dengar pendapat dengan berbagai unsur masyarakat sipil untuk menghimpun informasi miring tentang KPK. Termasuk mengunjungi narapidana di Sukamiskin. Intinya memojokkan KPK.

Narasumber itu  bergantian menjadi tamu yang terhormat di Senayan. Mereka "bernyanyi" dengan nada sendu yang kesemuanya nyaris memojokkan KPK. Membanjirlah masukan masyarakat sipil dan oknum pejabat resmi KPK. Menyatu dalam satu warna nada: berdendang menyanyikan lagu benci berbalut kecewa dengan kinerja KPK.

KPK tidak bisa mengelak. Mereka kelimpungan. Karena posisi mereka yang "diterdakwakan" dalam forum RDP (Rapat Dengar Pendapat), di luar perkiraan nalar yang sehat. KPK seperti tidak berkutik, sebagaimana terlihat dalam siaran langsung televisi nasional.

Sebuah tontonan tragedi "pembunuhan" karakter yang sangat kasat mata, dilakukan orang-orang "berdarah dingin", yang merasakan nikmat melihat korbannya panik tidak berkutik.

Tercatat hal-hal yang merepotkan KPK antaranya, di eksternal karena adanya "perang dingin" dengan institusi Polri: di internal ada gesekan di dalam tubuh tim penyidik. Direktur Penyidikan KPK Brigjen Aris Budiman turut hadir dan "bernyanyi" pada acara rapat dengar pendapat dengan Pansus Angket meskipun tidak ada restu pimpinan KPK, pada Selasa 29 Agustus 2017 di Senayan.

Serangan Pansus Angket yang bertubi-tubi dibarengi dengan "tikaman" dari dalam terhadap tubuh KPK, membuat lembaga antirasuah itu tertatih-tatih seperti "hilang bentuk", kata Chairil Anwar dalam salah satu puisinya.

Sebenarnya, masyarakat sudah dua tiga kali salah terka tentang nasib SN. Selama beberapa kali memenuhi panggilan di KPK, banyak yang memperhitungkan SN sudah akan disuruh menggunakan rompi oranye. Terlebih setelah dinyatakan tersangka.

Tidak ada yang mengetahui apa yang dan siapa yng menginspirasi SN untuk memutuskan melakukan perlawanan melalui praperadilan. Rumor tentang adanya campur tangan "orang kuat" dalam proses hukum SN itu tetap saja bergelayut di langit biru tak tersingkap. Terasa tetapi tidak nampak. Sebuah misteri politik yang menggeliat dalam diam.

Pada awalnya KPK yang sedang limbung oleh tekanan atas dirinya, berusaha menjaga rasa percaya diri menghadapi sidang praperadilan, yang berlangsung penuh dengan trik, intrik dan adu siasat dengan SN.

KPK yang berposisi terserang dan dihujani ancaman oleh Pansus Angket memasuki arena persidangan praperadilan dengan persiapan kurang prima. Atas kekalahan KPK tersebut, beredar analisis bahwa, dalil-dalil tim hukum KPK dinilai sangat lemah atau "dilemah-lemahkan"!?

Sebutlah, tim hukum KPK minta kasus ini diadili di PTUN, tapi hakim Cepi Iskandar berkeras di praperadilan: tim hukum KPK minta bukti rekaman pemeriksaan, tapi ditolak: tim hukum KPK tolak Prof. Romli jadi saksi ahli, tapi hakim Cepi setuju.

Terhadap pilihan dalil yang sejatinya adalah amunisi handal tim hukum KPK - ternyata mudah dimentahkan oleh hakim Cepi, - membuat masyarakat mempertanyakan kualitas keahlian di bidang hukum tim hukum tersebut.

Ke depan, - mau tidak mau, -KPK harus secara sungguh-sungguh mempersiapkan diri lebih prima. Masyarakat berharap ibarat pepatah: Keledai tidak akan dua kali terperosok di lubang yang sama.

Keberadaan lembaga praperadilan harus ditolak kehadirannya sebagai "tirani" baru pemberantasan korupsi.

Kepercayaan masyarakat kepada KPK jangan direduksi oleh ketidakmatangan persiapan. Suasana ironis yang menimpa KPK mengundang publik mengingat potongan puisi Chairil Anwar yang berjudul "Doa": "..CayaMu panas suci - Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi - Tuhanku aku hilang bentuk, remuk". [***]

Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati sosial budaya

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA