Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jangan Anggap Enteng Utang

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fuad-bawazier-5'>FUAD BAWAZIER</a>
OLEH: FUAD BAWAZIER
  • Kamis, 22 Maret 2018, 15:35 WIB
UTANG pemerintah selama 3 tahun lebih pemerintahan Jokowi naik sekitar Rp 1.200 triliun, jauh melebihi kenaikan pendapatan pajak yang stagnan sebagai ukuran kemampuan bayar utang.

Pemerintah selalu berdalih bahwa utang negara yang kini berjumlah Rp 4.000 triliun atau sekitar 29,5 persen dari PDB adalah masih jauh di bawah ketentuan UU Keuangan Negara yang batas maksimalnya 60 persen PDB, dan jauh pula di bawah ratio utang negara-negara lain.

Utang Jepang yang sering dijadikan pembanding ratio utangnya terhadap PDB jauh di atas 200 persen tetapi Jepang mempunyai ciri-ciri tersendiri yaitu:

1. Utangnya kepada rakyatnya sendiri dan kepada Bank Sentral Jepang dengan ratio masing-masing sekitar 50 persen.

2. Utangnya dalam mata uangnya sendiri yaitu Yen.

3. Bunganya sangat rendah hanya sedikit diatas 1 persen. Bandingkan dengan bunga utang Indonesia yang tertinggi di Asia dan bahkan sebagiannya masih 2 digit.

4. Kredit rating jepang A+ alias sangat secure sementara rating Indonesia BBB.

5. Meskipun utang Jepang tinggi tetapi dari kaca mata riil ekonomi Jepang mempunyai net international investment positions 2,8 triliun dolar AS yang berarti memiliki net external assets positif alias bangsa kreditor. Berbeda dengan Indonesia yang net international investment positionnya negatif lebih dari 400 miliar dolar AS alias mempunyai net external liabilities atau benar-benar negara dengan neraca sebagai negara debitor. 


Pemerintah tidak membandingkan tax ratio Jepang yang 31 persen PDB sementara tax ratio Indonesia kurang dari 11 persen atau praktis yang terendah di dunia.

Pemerintah juga tidak membandingkan dengan ratio APBN terhadap PDB di Indonesia yang amat rendah dibandingkan dengan ratio yang sama dari negara-negara lain yang sering dijadikan pembanding. Begitu pula dengan debt service ratio di Indonesia yang 40 persen atau tertinggi di Asia Tenggara, sementara batas yang dianggap aman maksimal 25 persen. Sementara itu, sekitar 41 persen utang negara dalam valuta asing. Dengan average time to maturity 9 (Sembilan) tahun dan yang bertenor (jatuh tempo) 5 (lima) tahun sebesar 40 persennya, akan menjadi beban berat APBN dalam 5 (lima) tahun ke depan.
 
Kekhawatiran lain adalah membengkaknya utang pemerintah karena kurs rupiah yang cenderung melemah sehingga diperlukan uang dari pendapatan pajak yang lebih banyak lagi untuk pembayaran utang dalam valas. Kekhawatiran lebih lanjut adalah keterbatasan valas untuk membayar utang dalam mata uang asing mengingat 5 (lima) hal, yakni;

1. Neraca perdagangan yang cenderung defisit dalam 3 (tiga) bulan terakhir ini yaitu dari Desember 2017 sampai dengan February 2018 mengalami defisit total 1 miliar dolar AS atau rata-rata defisit perbulan 364 juta dolar AS.

2. Kenaikan cadangan devisa yang bersumber dari utang luar negeri dan hot money yang sewaktu-waktu mudah ditarik keluar negeri.

3. Tax ratio yang rendah tetapi cenderung menurun yang mengindikasikan ke depan kemampuan pemerintah akan menurun dalam memenuhi kewajiban pembayaran utangnya.

4. Sektor industry yang merupakan penyumbang pajak (tax revenue) sebesar 31persen cenderung menciut karena terjadinya de-industrialisasi yaitu dari 28 persen (1997) menjadi 20 persen PDB (2017).

5. Kenaikan anggaran 2018 untuk subsidi seperti listrik dan BBM yang akan membebani ekstra APBN karena Presiden Jokowi ingin menjaga dukungan politik rakyat dalam menghadapi pemilu 2019.


Cepat atau lambat pasar akan menyadari bahwa pemerintah akan memasuki masa-masa sulit untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya, dan itulah awal dimulainya krisis. [***]

Penulis adalah mantan Menteri Keuangan Indonesia pada Kabinet Pembangunan VII

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA