Selamat Idul Fitri
Selamat Idul Fitri Mobile
Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Presiden Eks Militer, Teroris dan Neo Suhartoisme

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/syahganda-nainggolan-5'>SYAHGANDA NAINGGOLAN</a>
OLEH: SYAHGANDA NAINGGOLAN
  • Minggu, 13 Mei 2018, 16:53 WIB
Presiden Eks Militer, Teroris dan Neo Suhartoisme
Syahganda Nainggolan/Net
TERORIS sudah menyerang Surabaya, 13 Mei 2018, tepat sehari setelah Jokowi memuji Cak Karwo sebagai pemimpin yang mampu menjaga kerukunan masyarakat di Jawa Timur.

Serangan teroris ini, bahkan sebelumnya bukan hanya menelan korban sipil, tapi mereka mampu "menguasai" markas Brimob Pusat, di Depok.

Perbuatan biadab teroris ini telah menciptakan rasa takut yang parah bagi warga bangsa ini, karena kelihatannya kekuatan mereka bukan hanya mampu meneror masyarakat sipil, tapi juga Brimob yang bersenjata.

Rasa takut warga adalah ancaman kemanusian yang paling bahaya. Presiden (USA) Rosevelt menyebutkan Freedom from Fear adalah satu dari 4 Freedom yang harus dimiliki manusia. (Yang lainnya adalah Freedom of Speech and expression, Freedom of Worship and freedom of want)

Apa yang perlu kita renungkan dengan sitiasi ini? Setelah 20 tahun reformasi? Kenapa stabilitas nasional begitu rentan? Mengapa di masa Suharto tidak ada terorisme?

Neo Suhartoisme

Dua puluh tahun kita berada dalam masa Reformasi. Suharto terjungkal pada tahun 1998 oleh gerakan reformasi yang di pimpin Amien Rais dan Mahasiswa 98. Masa itu kesenangan tersebar diseluruh pelosok negeri. Kejatuhan Suharto membuat kebebasan sebagai hadiah besar bagi rakyat, kebebasan berdemokrasi.

Namun, dua puluh tahun juga waktu yang tepat untuk kita menilai, apakah kejahatan yang kita tuduhkan pada Suharto seluruhnya benar?

Ada tiga strategi pembangunan yang dilakukan Suharto, pertama, Stabilitas Nasional, Kedua Pertumbuhan Ekonomi dan Ketiga Pemerataan Pembangunan.

Stabilitas nasional di jaman Suharto telah berhasil meredam perbedaan yang berbasis SARA (Suku, Agama, Ras dan Aliran) yang sesungguhnya dahsyat di negara ini. Kita ketahui perbedaan etnis di Indonesia sangat tajam, karena terdiri dari ratusan etnis. Soal agama juga demikian. Dengan strategi stabilitas, jaman Suharto tidak pernah ada bom dan teroris. Apalagi konflik sosial.

Pertumbuhan di jaman Suharto juga luar biasa. Rata rata pertumbuhan ekonomi dikisaran 8 persen persen. Sektor industri berhasil melebihi kontribusi sektor pertanian di awal tahun 90an. Kemiskina berkurang dari 68 persen yang diwarisi Sorkarno, menjadi 13 persen tahun 90an.

Professor Robert Elsom dari Queensland University dan Hall Hill dari Australian University mengapresiasi semua keberhasilan Suharto. Sayangnya keberhasilan itu terhapus oleh sebuah noda, yakni Korupsi. (Donald Greenles, The New York Times, 28/1/2008). Begitupun, Hall Hil menilai bahwa investor lebih nyaman di masa Suharto, karena pungutan liar (bribe) sifatnya terukur. Dibanding jaman reformasi, korupsi atau pungutan liar berkembang ke daerah daerah dengan biaya yang tidak pasti.

Apa yang mungkin harus dilihat dari sisi negatif rezim Suharto adalah ketimpangan sosial. Meskipun Gini ratio masih sekitar 0,3, namun struktural ekonomi sudah memberikan bibit oligarki.

Masa reformasi, isu stabilitas diganti dengan demokrasi. Jaman Suharto dengan jargon stabilitas dan pembangunan. Jaman kini, demokrasi dan pembangunan. Ternyata, tanpa strategi stabilitas, Indonesia berada pada jurang perpecahan. Kita melihat dewasa ini semua isu yang muncul di publik direspon dalam polarisasi pro dan kontra. Bukan benar vs salah. Hal ini sudah bertentangan dengan semangat Pancasila, khsusnya Sila Persatuan dan Sila Musyawarah/Mufakat.

Hadirnya teorisme semakin membuat situasi tidak terkendali, ke mana arah bangsa kita? Apalagi selama reformasi, pemimpinya lebih banyak pencitraan, termasuk SBY yang seolah olah tidak punya latar belakang militer, terlalu lamban dan lembek.

Dari semua ini, kita tahu bahwa reformasi yang sudah berumur 20 tahun harus ditinjau kembali? Kemanakah kita? Apa paradigma kita ke depan?

Saat ini kita dipimpin Jokowi yang menjual gagasan Soekarnoisme, Trisakti dan Gotong royong. Hal yang sama di awal reformasi, di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Tampaknya, Soekarnoisme sudah gagal total. Lalu kemana kita berpaling?

Pilihan kita hanya tersedia model Suharto. Hidup dengan sandaran utama adalah Stabilitas. Apakah kita berani? Tentu banyak dari kita, khususnya aktivis yang korban orde baru, memerlukan jalan baru. Untuk itulah maka kita aebut sebagai Neo Suhartoisme. Apakah itu Neo Suhartoisme?

Neo Suhartoisme adalah stabilitas nasional, pertumbuhan dan pemerataan yang direvisi. Sebuah Suhartoisme yang direvisi. Bagaimanakah itu?

Suhartoisme yang direvisi adalah Soehartoisme lama plus unsur baru, yakni pertama, memasukkan unsur demokrasi, seperti pemilihan langsung dan periodesasi presiden. Kedua, membatasi kekayaan orang kaya dan mempercepat pemerataan. Ketiga, kembali memperkecil hubungan dengan RRC.

Seberapa jauh "trade-off" antara demokrasi dan stabilitas? Dalam Neo-Suhartoisme demokrasi dapat dikurangi dan stabilitas harus diutamakan. Karena stabilitas adalah kunci persatuan nasional dan pembangunan.

Jika stabilitas nasional menjadi kunci penting pembangunan nasional, maka kendali negara atas keamanan nasional akan maksimal. Dalam situasi ini, seperti di masa pak Harto, tentu tidak ada terorisme. Setidaknya, kita berharap demikian.

Soal Eks Militer

Menjadikan stabilitas nasional sebagai sebuah strategi negara tentu membutuhkan sosok tegas. Hal ini tidak harus mendikotomikan sipil vs militer. Namun, alergi terhadap militer atau eks militer seharusnya juga diakhiri.

Banyak aktifis aktifis yang mengklaim menjatuhkan Suharto dulu terus menerus mempropagandakan tolak capres eks militer. Relevansinya apa? Padahal kita tahu bahwa sudah dua puluh tahun militer kembali ke barak. Bahkan, urusan terorisme yang seharusnya urusan kombatan, militer tidak dilibatkan.

Jika terorisme seperti yang kita alami saat ini, dan ketakutan kita sebagai warga karena pihal keamanan sudah menyatakan keadaan darurat sipil di Jakarta, semakin menjadi, maka sudah saatnya kita sebagai warga justru mencari sosok kepemimpinan nasional yang berlatar belakang militer. Karena merekalah yang paling faham melakukan kontra terhadap teroris.

Sebagaimana kita alami dulu, di masa pak Harto, meskipun terorisme ada di Barat seperti IRA (Irish Republic Army) dan Red Army di Jerman, serta di Arab seperti 'The Jackal" di Libya, namun tidak satupun teroris di Indonesia.

Masalah stabilitas dan latarbelakang eks militer yang tegas mempunya kaitan erat. Pemimpin sipil, termasuk polisi, tidak mengerti dalam soal terorisme ini. Apalagi dikaitkan dengan konsporasi dan geopolitik.

Dengan demikian, kebutuhan bangsa kita atas pimpinan tegas dan eks militer terasa semakin urgen. Beranikah kita neninggalkan kebebasan semu saat ini? sebuah kebebasan dan demokrasi tanpa arah?[***]

Penulis merupakan Direktur Sabang Merauke Circle

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA