Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ini Alasan Mengapa Rilis 200 Mubaligh Jadi Polemik

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Kamis, 24 Mei 2018, 19:57 WIB
Ini Alasan Mengapa Rilis 200 Mubaligh Jadi Polemik
rmol news logo Nama 200 mubaligh yang dirilis Kementerian Agama (Kemenag) menjadi polemik di masyarakat, bahkan menuai reaksi keras dari kalangan anggota Komisi VIII DPR. Mengapa menjadi polemik?
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Pertama menurut pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno, tradisi  mubaligh dan kiai di Indonesia berbeda dengan negara tetangga seperti Malaysia yang terlembaga.

"Di Indonesia justru mereka tumbuh secara alami dan natural. Artinya sebutan itu diberikan oleh masyarakat kepada orang secara individu karena melihat yang bersangkutan sebagai orang  yang saleh secara Islam, seperti menyampaikan kebaikan. Makanya ketika ada rilis 200 mubaligh, wajar gaduh karena dari dulu sebutan ustadz, kiai, mubaligh itu tidak pernah lahir dari negara," kata Adi Prayitno saat menjadi pembicara di Dialektika Demokrasi dengan tema 'Dibalik Rekomendasi 200 Mubaligh' di Media Center DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (24/5).

Menurut dia, mereka  yang mendapat sebutan mubaligh rata-rata selain dinilai saleh juga memiliki pesantren, masjid, dan surau.

Adi Prayitno tidak sepenuhnya menyalahkan Menteri Agama terkait rilis tersebut, apalagi yang direkomendasikan menyangkut kriteria mubaligh. Menjadi gaduh dikarenakan adanya sisa konflik Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta yang tidak selesai. Termasuk isu-isu agama yang sensitif.

"Saya kira memang penting mubalig ustad atau kyai itu diberikan suatu suatu kriteria,  dan  parameternya untuk dijadikan menjadi narasumber," kata Adi.

Sebab seorang mubaligh harus mempunyai kapasitas kompentensi keagamaan, ini penting. artinya kualifikasi keilmuan dan intelektualnya dan bisa ditreker secara sistematis. Hal ini menurut dia, penting sebenarnya untuk menjawab keraguan, bahwa sekarang banyak orang belajar agama dari youtube, dari film, facebook, dan kemudian mengaksentuasi keagamaan dan ini dianggap satu kebenaran yang tidak bisa ditafsirkan oleh mubalig lain.

"Ini disebut fenomena belajar agama tanpa masjid. ini sebagai kabar buruk mungkin kelimpahan sumber informasi kita yang tak terbendung terutama di media sosial," demikian Adi Prayitno.[dem]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA