Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Batasi RS Untuk Tes Kesehatan, Surat Edaran KPU Dianggap Persulit Caleg

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Minggu, 01 Juli 2018, 23:44 WIB
Batasi RS Untuk Tes Kesehatan, Surat Edaran KPU Dianggap Persulit Caleg
Ilustrasi/Net
rmol news logo Per 30 Juni kemarin, KPU mengeluarkan Surat Edaran Nomor 627. Salah satu isinya mencantumkan list Rumah Sakit (RS) rujukan untuk tes kesehatan jasmani, rohani, dan narkoba bagi para bakal calon anggota legislatif (Caleg) DPR/DPD/DPRD.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Surat Edaran KPU ini diprotes dua pentolan Fraksi Demokrat DPR, Dede Yusuf dan E Herman Khaeron. Keduanya menganggap, Surat Edaran tersebut mempersulit Caleg untuk mendaftarkan diri. Sebab, Caleg harus melakukan tes kesehatan hanya pada RS yang sudah terakreditasi KPU dalam Surat Edaran itu.

"Baru ini keluar Surat Edaran KPU mencantumkan list RS yang menjadi rujukan untuk pemeriksaan kesehatan jasmani, rohani, dan narkoba. Sementara, tinggal empat hari lagi, batas waktu yang singkat untuk proses pendaftaran Caleg. Hal ini akan sangat merugikan putra/putri terbaik bangsa untuk mencalonkan dirinya dalam Pemilu 2019," papar Dede Yusuf saa dihubungi, Minggu (1/7).

Ketua Komisi IX DPR ini amat heran, isi Surat Edaran tersebut mengesampingkan sebagian RS Pemerintah yang selama ini sering dipakai rujukan.

"Bagaimana dengan mereka yang sudah lakukan pengecekan di RS Daerah yang tidak masuk dalam daftar, apakah dianggap dokter atau petugas di sana tidak kapabel?" cetusnya.

Dia juga heran karena dalam list itu, tidak semuanya RS milik Pemerintah sebagaimana diamanatkan UU Nomor 7/2017. Di dalamnya ada juga beberapa RS swasta. Kemudian, keberadaan RS yang dirujuk letaknya begitu jauh dengan kabupaten/kota tertentu. Ada juga RSUD yang dipakai rujukan memiliki kendala dalam peralatan.

Sebaliknya, RS TNI dan Polisi yang memiliki fasilitas yang baik tidak dimasukkan.

Menurutnya hal tersebut seperti tebang pilih.  Padahal, sesuai Undang-Undang, yang berhak mengeluarkan akreditasi adalah Kemenkes.

Ia menambahkan, jika aturan tersebut dilanjutkan, Dede memprediksi akan banyak kekisruhan soal tes jasmani dan rohani. Terlebih, KPU mengeluarkan peraturan itu di detik-detik terakhir menjelang penutupan pendaftaran Caleg.

Atas hal itu, eks Wagub Jawa Barat ini meminta KPU bersikap lebih bijak. Caranya dengan menarik Surat Edaran tersebut dan mengembalikan ke sistem UU Pemilu yang lama, dengan Puskesmas atau RSUD bisa melakukan tes kesehatan.

Herman Khaeron menyatakan hal serupa. Wakil Komandan Kogasma Partai Demokrat ini menganggap, Surat Edaran KPU itu belum memiliki penjelasan yang cukup dan alasan yang kuat.

Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan dengan gamblang oleh KPU. Misalnya, apakah dengan lahirnya surat edaran ini tidak mengakui keberadaan RS Pemerintah lainnya.

Kemudian apakah tidak layak RS di luar daftar akreditasi KPU sebagai lembaga kesehatan yang selama ini melayani rakyat, atau kenapa RS Gatot Subroto dan Polri tidak masuk dalam daftar KPU.

"Bagi saya, ini penuh tanda tanya dan tidak paham dengan keputusan KPU ini," ucap Ketua Divisi Pengabdian Masyarakat dan Program Pro Rakyat DPP Partai Demokrat ini.

Menurut Kang Hero, sapaan akrab Herman, Surat Edaran KPU itu juga terlambat terbit. Sebab, saat ini sebagian besar Caleg sudah memproses surat keterangan sehat jasmani, surat keterangan sehat rohani, dan surat keterangan bebas narkoba yang mungkin di luar daftar RS terakreditasi KPU, serta sudah mendaftar di partainya masing-masing.

"Peraturan ini diskriminatif, kurang tepat, membuat stigma negatif untuk RS Pemerintah lainnya, dan bagi Caleg akses terhadap RS terakreditasi KPU semakin jauh. Padahal, masih banyak persyaratan lain yang mesti diselesaikan. Kalaupun dasar pemikirannya agar hasil tes kesehatan berkualitas, semestinya masih banyak RS swasta juga bisa dipakai rujukan KPU," ucapnya.

Sama dengan Dede, Herman juga meminta KPU mengembalikan masalah tes kesehatan ini ke aturan lama, yaitu cukup dilakukan di RS Pemerintah.

"Toh Pileg sebelumnya dan Pilkada serentak yang baru lalu juga pakai aturan itu. Jadi, atas argumentasi tersebut, sebaiknya Surat Edaran tersebut dicabut dan dibatalkan, kemudian kembali ke peraturan sebelumnya," tandasnya. [nes]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA