Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Otoritarianisme Vs Kepastian Hukum

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/syamsuddin-radjab-5'>SYAMSUDDIN RADJAB</a>
OLEH: SYAMSUDDIN RADJAB
  • Minggu, 29 Juli 2018, 08:23 WIB
Otoritarianisme Vs Kepastian Hukum
Foto: Net
BELAKANGAN ini banyak sangkaan negatif yang mengarah ke Jusuf Kalla (JK) setelah mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam pengujian undang-undang yang dimohonkan oleh DPP Perindo pada Selasa (10/7) lalu.

Partai Perindo ingin menguji penjelasan Pasal 169 huruf n UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang dianggap bertentangan dengan Pasal 7 UUDN RI 1945.

Syak wasangka itu mulai dari kekuatiran munculnya otoritarian baru, mengkhianati amanat reformasi, membendung regenerasi kepemimpinan nasional hingga tuduhan serius melanggengkan dan mengamankan konglomerasi usaha JK yang memang berasal dari kalangan pengusaha atau saudagar.

Andaikata, JK tidak mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam permohonan judicial review DPP Partai Perindo mungkin dinamika politiknya tidak semarak seperti saat ini dan sidang-sidang MK akan berlangsung biasa-biasa saja seperti uji materi UU lainnya.

JK memang menghentak perpolitikan nasional menjelang penentuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada 4-10 Agustus 2018 atau dua minggu kedepan. Di tengah para pimpinan parpol bermanuver bertemu satu dengan lainnya dan saling menjajaki kemungkinan kerjasama untuk mengusung pasangan calon masing-masing.

Yang dibuat bereaksi cepat bukan lah masyarakat, tetapi kalangan politisi dan orang-orang yang berminat menjadi calon pasangan Presiden Jokowi terutama partai koalisi dengan mendorong ketua umumnya sebagai calon wakil Presiden. Partai Golkar misalnya, bahkan menggalang penolakan itu melalui organ mantelnya dengan melakukan penggalangan wacana dipelbagai media.

Tidak sampai disitu, partai Golkar juga secara serial menggelar diskusi dipelbagai temapt dan merekrut “relawan Jokowi” agar mendukung kepentingannya yakni menjajakan Airlangga Hartarto yang saat ini sebagai ketua umum agar dipilih sebagai calon wakil Presiden oleh Presiden petahana Jokowi.

Sedari awal, saya sudah menyatakan bahwa sosok ketua umum Partai Golkar itu tidak memenuhi kriteria dan kualifikasi calon Wakil Presiden karena bukanlah tokoh yang memiliki pengaruh kuat dikalangan arus bawah. Di internal Golkar sendiri, juga bukan figur simpul kuat yang memiliki faksi tersendiri dengan pengaruh politik kuat.

Sikap ngotot oknum pengurus Partai Golkar itu berbanding terbalik dengan sikap parpol koalisi Jokowi yang merespons sikap JK dengan santai dan biasa-biasa saja. Parpol lainnya lebih menganggap sebagai upaya pribadi dan hak konstitusional setiap warga negara yang perlu dihargai.

Menuju Otoritarianisme?

Bentuk pemerintahan otoritarianisme menurut Juan Linz (Richard Shorten, 2012: 256) setidaknya harus memenuhi empat kriteria, yaitu: pertama, keterbatasan akses publik dan kontrol terhadap parpol; kedua, legitimasi kekuasaan berdasarkan konsensus rezim; ketiga, mobilisasi massa dan penindasan lawan politik; dan keempat, dominasi kekuasaan eksekutif (executive heavy) dan regulasi bersifat karet dengan tafsir menurut selera rezim.

Keempat kriteria diatas saat ini sangat mustahil kembali kita alami dengan perubahan fundamental sistem ketatanegaraan setelah amandemen UUDN RI 1945 pada 1999-2002. Prinsip check and balances antar lembaga negara, penghapusan dwi fungsi ABRI sebagai alat rezim kekuasaan, dan partisipasi luas masyarakat serta perlindungan HAM menjadi indikator kuat tumbuhnya iklim demokrasi yang kian kokoh.

Enam tuntutan agenda reformasi hanya pemberantasan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang terseok-seok jalan penuntasannya karena penyelenggara negara masih dirasuki mentalitas rakus bin serakah. Revolusi mental ala Jokowi-JK sudah tepat namun dibutuhkan keseriusan dalam pengejawantahannya agar tidak hanya slogan tapi juga perbuatan.

Yang tidak disadari para pengkritik JK adalah bahwa JK dalam kedudukannya sebagai pihak terkait maupun kemungkinan jabatan (lagi) yang dinginkan hanya wakil Presiden dan bukan Presiden. Kedudukan sebagai wakil Presiden hanya membantu Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan.

Dalam kedudukan itu, bayangan akan bersikap otoriter jauh dari realitas politik bahkan mustahil terwujud, sepanjang Presiden masih ada dan menjalankan kekuasaan itu sesuai dengan sumpah/janji jabatan dan peraturan perundang-undangan. Tugas dan wewenang wakil Presiden sangat terbatas tergantung perintah Presiden.

Dalam ketentuan Pasal 4 sampai Pasal 16 UUDN RI 1945 Jabatan wakil Presiden hanya disebutkan saat menjelaskan kedudukannya dengan frasa “dibantu oleh satu orang wakil Presiden”,  syarat pencalonan, pengajuan pasangan calon, masa jabatan dan pemberhentian jabatan.

Tidak salah, jika ada pandangan yang menyatakan bahwa jabatan wakil Presiden tidak perlu diberikan batasan waktu karena kedudukan dan fungsinya hanya sebagai pembantu Presiden dalam menjalankan kewajibannya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara. Jadi jangan paranoid jabatan wakil Presiden akan bertindak laiknya Presiden seperti dimasa pemerintahan rezim Soeharto.

Kepastian Hukum

Secara pribadi, saya sejak awal menyatakan tidak setuju atas pengajuan JK sebagai pihak terkait dalam permohonan penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu dengan alasan etis. Beberapa argumen hukum dapat disampaikan sebagai berikut:

Pertama, pembentukan UU 7/2017 merupakan hasil pembahasan dan kesepakatan yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah. Dalam kedudukan JK sebagai wakil Presiden merupakan bagian dari pemerintah yang telah menyetujui UU Pemilu tersebut.

Kedua, tanpa mengajukan diri sebagai pihak terkait, majelis hakim MK menurut ketentuan Pasal 14 PMK No. 6/PMK/2005 sebagai acuan hukum acara dalam pengujian undang-undang dapat memanggil pembentuk UU (termasuk pemerintah) untuk didengar keterangannya (ad informandum), dan wakil Presiden JK dapat saja mewakili pemerintah untuk menjelaskan hal tersebut.

Ketiga, dianutnya asas audi et alteram partem atau hak untuk didengar secara seimbang baik pemohon maupun pihak terkait, apalagi sosok JK dalam posita Partai Politik diuraikan telah mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden yakni Joko Widodo dan Jusuf Kalla sehingga kemungkinan akan dipanggil untuk ditanyakan kesediaannya atas pencalonan tersebut.

Namun demikian, kenekatan JK maju sebagai pihak terkait tentu dengan pertimbangan yang matang dan mantap. Bayangan saya akan menuai kritik bahkan sinistik dan cemoohan akhirnya benar-benar terjadi. Sebagai orang yang sangat berpengalaman dalam politik dan pemerintahan tentu hal demikian sudah dipertimbangkan.

Memang, Pasal 7 UUD NRI 1945 yang dikaitkan dengan penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu berkutat pada frasa "maupun tidak berturut-turut" menjadi hal yang disoalkan oleh para pihak dengan pelbagai alasan baik pro maupun kontra.

DPP Partai Perindo dan JK  yang dapat saya tangkap dari permohonan dan alasan JK sebagai pihak terkait hanya ingin kepastian hukum dan tafsir shohih dari MK sebagai lembaga yang diberi kewenangan oleh UU guna mengakhiri tafsir-tafsir lain yang berseliweran diluar gedung MK dan demi generasi dimasa mendatang.

Pada akhirnya, kita berharap agar tafsir MK dilandaskan pada pertimbangan-pertimbangan rasional, adil, demokratis dan hak asasi manusia. Saya memercayai reputasi kenegarawanan para hakim MK dalam memutus permohonan pemohon dengan integritas dan sifat kemandirian dan independensinya demi menjaga marwah kelembagaan dan tafsir kesejatian UUDN RI 1945. [***]


Penulis adalah Staf Pengajar HTN UIN Alauddin Makassar dan Direktur Eksekutif Jenggala Center

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA