Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Terima Kasih Hanifan..

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-5'>ALDI GULTOM</a>
OLEH: ALDI GULTOM
  • Kamis, 30 Agustus 2018, 19:11 WIB
Terima Kasih Hanifan..
AWALNYA kita yakin Pilpres 2019 akan terasa sama saja dengan Pilpres 2014. Sama panasnya, mungkin sama hasilnya?

Sebut saja tiga faktor yang membuatnya begitu. Satu, dari faktor petarung. Pilpres 2019 sama dengan rematch Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Tanding ulang meski dengan pendamping yang berbeda.

Dua, rematch ini hanya akan mengkristalkan basis dukungan Jokowi dan Prabowo. Sebelum Pilpres 2014, sejumlah lembaga survei mencatat pendukung Jokowi kuat di pedesaan dan di kalangan berpendidikan rendah. Sementara pendukung Prabowo kuat di perkotaan dan kalangan terdidik. Bunyi survei peta kekuatan untuk Pilpres 2019 kurang lebih juga begitu.

Ketiga, komposisi koalisi. Formasinya hampir mirip. Di 2014, Jokowi didukung PDIP, Nasdem, PKB dan Hanura. Untuk 2019 bertambah dua: Golkar dan PPP.

Sedangkan Prabowo tadinya didukung Partai Gerindra, PKS, PAN, PPP dan Golkar pada 2014. PPP dan Golkar menyeberang. Tapi ada anggota baru: Partai Demokrat.

Tentu perbedaan paling mencolok Pilpres 2014 dan 2019 adalah soal waktu. Untuk pertama kali, Indonesia akan menggelar Pemilu Legsilatif dan Pemilu Presiden secara bersamaan. Yang berbeda lainnya tentu jumlah surat suara di tangan calon pemilih, juga kesibukan lembaga penyelenggara yang lebih padat.

Selain itu, nyaris semua sama. Termasuk hawa "perang medsos". Jokowi dan Prabowo sama-sama mempunyai "pasukan siber" yang militan. Gorengan isu lebih mantap bila viral dan liar. Hoax dimainkan. Persatuan bangsa terancam. Antar saudara bisa ribut karena beda pilihan.

Kekhawatiran itu mencekam bagi orang-orang rasional nan waras yang populasinya (mungkin) semakin sedikit. Sampai saat, Hanifan Yudani Kusumah beraksi.

Hanifan, pesilat muda usia 19 tahun asal Bandung, menyatukan Jokowi dan Prabowo dalam aksi simbolik di tengah arena Asian Games 2018 (Rabu, 29/8). Usai mengalahkan atlet silat asal Vietnam, Nguyen Thai Linh, masih dengan Merah Putih menyelimuti badan, Hanifan merangkul sekaligus Jokowi dan Prabowo yang duduk di tribun VVIP.

Dari berbagai sudut dalam waktu seketika, video ketiganya berpelukan di tribun VVIP itu viral via aplikasi WhatsApp dan medsos. Hanifan menggemparkan ranah politik nasional.  

Setuju atau tidak, Hanifan cerdas memanfaatkan momentum. Ia membangun narasi baru di tengah panasnya rematch Jokowi-Prabowo. Ia membangun narasi yang membangkitkan adab, mendorong rasionalitas. Narasi yang mendominasi mengatasi dikotomi.

Memang masih tak sedikit yang jahil (bodoh). Masih ada followers yang mengedepankan pemisahan. Sedikit "cebong" bilang Jokowi yang berjiwa besar. Sedikit "kampret" mengklaim Prabowo yang berjasa.

Tapi, Hanifan-lah otaknya. Ia membuat baik Jokowi maupun Prabowo tampak negarawan. Tanpa pelukannya, Jokowi dan Prabowo tetap terpisah, minimal terpisah jarak bangku. Tanpa kenekatannya, Jokowi dan Prabowo tidak pasrah berselubung satu kain Merah Putih.

Level Hanifan jauh di atas para ketua umum parpol yang hobi memecah-belah demi kepentingan sempit. Lebih jauh lagi di atas para koordinator relawan yang menanti jatah komisaris BUMN.

Hanifan mempolitisasi olahraga? Bukan. Hanifan olahragawan yang mengatasi kedegilan para makhluk politik.

Lepas dari segala kebetulan, kita patut berterima kasih pada Hanifan. Atas sumbangan medali emas, atas pelukannya untuk Indonesia. [***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA