Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menyoal Politik Identitas Jelang Ijtima Ulama II

Minggu, 02 September 2018, 16:55 WIB
Menyoal Politik Identitas Jelang Ijtima Ulama II
Alireza Alatas/Net
POLITIK Identitas. Istilah ini tiba-tiba mencuat ke permukaan setelah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebutnya seusai bertemu dengan capres Prabowo Subianto, beberapa waktu lalu.

"Kami sepakat untuk ikut mencegah jangan sampai politik identitas, SARA, secara ekstrem mendominasi pelaksanaan pemilu agar demokrasi tumbuh dan berkualitas," ucap SBY, di kediamannya, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (24/7) lalu.

SBY dalam kesempatan tersebut mendudukkan politik identitas dengan isu SARA. Dari pernyataan SBY tampak janggal karena politik identitas disejajarkan dengan SARA.

Padahal Indonesia merdeka  tidak terlepas dari peran politik identitas yang menekankan identitas kebangsaan. Karena identitas bangsa terwujudlah kemerdekaan dalam menghadapi penjajah negeri ini. Tanpa politik identitas yang dimainkan para pendiri bangsa saat itu, rakyat tak akan menemukan kekuatan dalam menghadapi penjajah saat itu.

Politik identitas dapat didefinisikan sebagai upaya politisasi identitas kolektif atau perasaan 'kekitaan' yang menjadi basis utama perekat kolektivitas sebuah masyarakat. Penekanan pada ´kekitaan´ ingin menjelaskan bangunan kebersamaan untuk mewujudkan mimpi kolektif.

Sebagaimana dijelaskan Almarhum Profesor Dr Fuad Hassan, 'kita' berbeda dengan 'kami'. Saat menekankan aspek 'kita', maka di sana tidak ada ruang bagi 'mereka'. Semuanya melebur jadi satu pada 'kita'.

Dengan ungkapan lain, kata 'kita' juga melibatkan 'mereka'. Sementara saat menekankan 'kami' masih ada ruang bagi 'mereka'. Ketika menyebut 'kami', maka 'mereka' tidak terlibat dalam 'kita'.

Menimbang ulasan 'kita' dan 'kami' di atas, maka politik identitas  berpusat pada politisasi 'perasaan kekitaan'  bukan pada 'perasaan ke-kami-an'. Dengan ungkapan lain, politik identitas bisa dipahami dengan makna positif, yaitu cenderung ke arah inklusivitas, tidak pada eksklusivitas.

Mengacu pada ulasan di atas, politik identitas bukanlah hal yang tabu, bahkan suatu hal yang dibutuhkan bagi bangsa ini mengingat penekanan pada kekitaan.  Jika tidak, maka sebuah bangsa akan dihadapkan pada krisis identitas.

Apa jadinya sebuah bangsa tanpa identitas?! Maka, budaya asing akan merasuki bangsa yang tak berkarakter karena kehilangan identitas diri sebagai bangsa. Tak dapat dipungkiri, kekayaan budaya Indonesia tak terlepas dari Islam. Harus diakui bahwa Islam bagian identitas dan karakter bangsa.

Pancasila sebagai Ideologi bangsa Indonesia menuangkan poin ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama. Poin ini sejajar dengan konsep tauhid dalam ajaran Islam. Aspek inilah yang membedakan Pancasila beda dengan ideologi dunia lainnya, yaitu sosialis dan kapitalis.

Bila Pancasila diyakini sebagai ideologi dan identitas bangsa, maka bisa dikategorikan sebagai ideologi sosialis agamis atau sosialis religius. Pancasila tak bisa dikatakan murni sosalis. Karena di sana selain ditekankan aspek ketuhanan juga terdapat aspek sosial yang ditekankan seperti kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan.

Gerakan 411 dan 212 tidak bisa dipahami sebagai aksi sektarian yang mementingkan kepentingan kelompok. Tuntutan dalam aksi 411 dan 212 sangat jelas, yaitu menolak penistaan agama yang menjadi bagian dari identitas bangsa dan menentang hegemoni kelompok tertentu atas bangsa ini.

Semua tuntutan dalam aksi 411 dan 212 sesuai dengan kepentingan bangsa besar Indonesia, bahkan dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.  Sangat naif dan picik bila kemudian gerakan mulia seperti ini dipersempit menjadi isu sektarian.

Islam telah mejadi bagian dari jati diri bangsa Indonesia. Dunia mengenal Indonesia sebagai muslim terbesar di planet bumi ini.

Ketika ada suara memojokkan Islam dan kemudian direspon dengan gerakan atas nama Islam sebagai jati diri bangsa, apakah bijak bila gerakan semacam ini kemudian dinilai sebagai aksi sektarian?! Tentu tidak.

Bung Tomo ketika menghadapi penjajah dan mempertahankan kota Surabaya, meneriakkan kalimat takbir. Apakah kalimat Allahu Akbar yang diucapkan Bung Tomo harus dipahami sebagai perilaku sektarian?! Tentu tidak.

Politik identitas Bung Tomo saat itu mampu menggerakkan ummat Islam sebagai kekuatan mayoritas melawan penjajah. Apakah kemudian politik identitas tak bisa dibenarkan hanya karena menggunakan kalimat-kalimat Islam?! Naif sekali.

Pada dasarnya, penghapusan identitas adalah upaya penjajah yang berusaha menghilangkan karakter bangsa. Karena itu muncul istilah globalisasi yang tujuannya menggerus identitas dan jati diri bangsa-bangsa dan menundukkan mereka untuk kepentingan penjajah. Semuanya terintergrasi dalam kendali pusat yang diarahkan penjajah.

Upaya untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi dapat ditempuh melalui efektivitas pembinaan kebangsaan dengan pembentukan jiwa nasionalisme yang menempatkan kesetiaan tertinggi pada tanah air, menjaga nilai-nilai luhur dan memelihara unsur-unsur identitas nasional. Inilah yang disebut politik identitas dalam rangka mengantisipasi krisis identitas.

Uniknya, istilah politik identitas kembali disuarakan ke permukaan menjelang Ijtima Ulama II. Tapi konteks politik identitas yang disuarakan lebih cenderung tendensius. Sejumlah media mulai menggiring isu 'politik identitas tendensius' dengan tujuan mengikis kekuatan ummat sehingga para pemegang kendali pemerintahan berjarak dengan ulama dan ummat.

Padahal sejauh ini, HRS menunjukkan sikap bijak dan mementingkan  kepentingan bangsa di atas  semua kepentingan. Ulama pun dilibatkannya untuk mengawal kekuasaan dalam koridor amar makruf nahi munkar. Berkat HRS, Ijtima Ulama terealisasi sebagai bentuk kepedulian pada bangsa.

HRS sadar bahwa kekuatan yang selama ini terhimpun dalam berbagai aksi harus menjadi spirit dan kobaran api yang terus menjaga nilai-nilai bangsa dari niat-niat busuk segelintir orang. Selama ini, peran ulama kurang optimal di dunia politik.  Bahkan ulama seringkali dikondisikan sebagai pemeran artifisial.

Kali ini, HRS ingin kembalikan peran ulama seperti semula di awal kemerdekaan yang ikut menentukan arah bangsa. Ulama harus menjadi cermin ummat dan bangsa. Karena itu, HRS mengajak ulama berjuang bersama menjaga nilai-nilai luhur bangsa ini.

Upaya HRS dalam rangka mengonsolidasi ulama dan ummat tidak lah mudah. Banyak rintangan yang harus dihadapinya. HRS sendiri hingga sekarang berada di luar negeri. Tentu kendala jarak membatasi ruang gerak HRS di saat dituntut meningkatkan intensitas komunikasi politik .

Meski terkendala jarak, HRS terus menjalin komunikasi dan melibatkan semua pihak berikut jaringanya untuk tetap berjuang.  Tanpa keterlibatan semua pihak, khususnya ulama, maka perjuangan untuk mewujudkan Indonesia makmur dan sentosa akan terkendala.

Alhamdulillah, Ijtima Ulama pertama berhasil digelar, dan sekarang menanti Ijtima Ulama kedua yang rencana akan digelar bulan September ini.

Tak dapat dipungkiri, Ijtima Ulama membuktikan bahwa HRS berhasil menjalin komunikasi politik meski terkendala jarak. HRS mampu menghadirkan dinamika politik ulama di kancah nasional. Ulama tidak lagi diabaikan perannya dalam menjunjung politik nilai.

Sebelumnya, HRS dan organisasi yang dikelolanya, Front Pembela Islam (FPI) membuktikan konsisten menjunjung tinggi politik nilai ketika Anis terpilih sebagai Gubernur DKI.

Konsistensi itu dibuktikan HRS dan FPI dengan tak mengharapkan apapun setelah berhasil mendorong kemenangan Anis Baswedan dalam pilgub DKI.

Kini HRS ingin mengulang kembali kesuksesannya di level nasional. Ijtima Ulama merupakan inovasi HRS dalam rangka mengawal bangsa Indonesia dalam sekup yang lebih luas dari Sabang hingga Merauke.

Sangatlah picik, bila konsolidasi ulama dikonotasikan sebagai perilaku sektarian. Apalagi ulama merupakan elemen penting di negeri ini. Sejumlah pihak yang dirugikan dengan gerakan ummat berharap Ijtima Ulama kedua tidak membuahkan hasil dan tidak mempengaruhi konstelasi politik nasional saat ini.

Saatnya, para politisi dan tokoh bangsa ini harus  berpikir sejauh mungkin dalam rangka mewujudkan peradaban ideal sebagaimana tertuang dalam sila-sila Pancasila. Dari satu sisi, segala hal yang mengarah ke peradaban ideal akan mengokohkan identitas bangsa dan anasir konstruktifnya.

Sedangkan dari sisi lain, segala hal yang mampu  mengokohkan identitas bangsa dan anasir konstruktifnya seperti Islam dan Pancasila, akan mendekatkankan bangsa ini ke arah implementasi ideologi Pancasila yang diharapkan sebagai peradaban ideal.

Identitas bangsa dan anasir konstruksinya merupakan simbiosis mutualisme yang keduanya saling berinteraksi. Ijtima Ulama yang digagas HRS diharapkan sebagai anasir konstruktif identitas  bangsa dalam rangka mewujudkan peradaban baru sebagaimana dicita-citakan Pancasila.

Alireza Alatas
Penulis adalah pembela ulama dan NKRI/aktivis Silaturahmi Anak Bangsa Nusantara -SILABNA-

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA