Sebelum akhirnya diizinkan Polres Solo, Polda Jawa Tengah mengeluarkan pernyataan bahwa kegiatan tersebut tidak akan diberi izin.
Pengamat politik Karyono Wibowo menilai, polemik mengenai perizinan tersebut menandakan jika acara jalan sehat itu tidak terlepas dari aksi gerakan politik.
"Saya lihat mereka pasti tahu gerakan 2019 ganti presiden, mau dibungkus dengan apa pun pasti ketahuan. Pasti ada gerakan politik di dalamnya, meski pun dilihat dari gerak jalan sehat. Ini dilihat dari aktornya," kata Karyono, Sabtu (8/9).
Apalagi jika melihat
track record gerakan tersebut, Karyono menilai masih ada penumpang gelap yang mencoba bermain dalam gerakan hastag 2019 ganti presiden itu.
Yakni gerakan penegakan khilafah yang dibawa oleh elemen dari ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), meski pun telah dibubarkan oleh pemerintah melalui putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Namun kelompok pegiat gerakan #2019GantiPresiden masih menolak upaya politik mereka disusupi oleh gerakan pendirian khilafah dengan 2019 ganti sistem. Karyono memberikan saran agar para deklarator dan pegiat hastag itu membuktikannya secara nyata.
"Ya sterilkan aja dengan adanya gerakan-gerakan subversif di sana, gerakan yang ingin ganti dasar negara," ujar Direktur Indonesia Public Institute (IPI) ini.
Karyono juga menduga ada unsur kesengajaan mengapa gerakan gerak jalan yang diduga merupakan bungkusan dari gerakan tagar 2019 ganti presiden tersebut digelar di Solo. Ia melihat ada target penting yakni
psywar alias perang urat saraf.
"Ini perang urat saraf. Jokowi kan lahir di sana, jadi kalau terjadi kerusuhan di sana, maka itu yang mereka kehendaki. Makanya jangan terpancing dengan gerakan mereka agar jangan sampai
chaos," demikian Karyono. [jto]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.