Akibatnya para importir memanfaatkan ketidakvalidan data tersebut untuk mengejar rente yang kemudian dipayungi oleh Permendag Nomor 1/2018.
Wakil Ketua Komisi IV DPR, Viva Yoga Mauladi menyoroti hal itu akibat pengelolaan data yang masih mengacu di BPS.
"Kendala lemahnya data itu karena BPS cara mendapatkan data lebih banyak 90 persen dari data sekunder bukan dari survei," ungkap Viva Yoga di Komplek Parlemen, Jakarta, Jumat (14/9).
Sambung dia, pengambilan data sekunder melalui dinas-dinas yang ada itu kemudian sarat dengan unsur politis.
"Jadikan dipertanyakan validasi dan akurasinya, semakin ke atas juga semakin menimbulkan masalah," terangnya.
Berdasarkan Permendag 1/2018 itu, Kementerian Perdagangan jika ingin melakukan impor terhadap bahan-bahan kebutuhan pokok seperti beras dan garam tanpa melalui persetujuan kementerian teknis.
"Jadi kalau mau impor beras tanpa melalui persetujuan Kementan, kemudian mau impor garam juga tanpa persetujuan KKP, ini yang jadi masalah," tegas Viva Yoga.
Anggota DPR Fraksi PAN tersebut lebih lanjut menyatakan dari perbedaan data yang tajam itu akhirnya menimbulkan perbedaan kebijakan antar kementerian.
"Bulog itu real time datanya. Tapi dia terkendala dengan untuk melakukan operasi pasar," pungkas Viva Yoga.
[rus]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: