Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Indonesia Butuh Satria Demokrasi, Bukan Preman Politik

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/teuku-gandawan-5'>TEUKU GANDAWAN</a>
OLEH: TEUKU GANDAWAN
  • Selasa, 02 Oktober 2018, 16:42 WIB
Indonesia Butuh Satria Demokrasi, Bukan Preman Politik
Ilustrasi/Net
KETIKA 17 Agustus 1945, saat Soekarno-Hatta menyatakan proklamasi kemerdekaan Indonesia, tak ada rasanya cita-cita tersurat ataupun tersirat agar kelak negeri ini boleh dijajah oleh sebagian anak bangsa atas sesamanya. Tidak juga oleh bangsa asing dalam bentuk penjajahan lain yang bersifat non-fisik.

Kita menyatakan merdeka atas segala hal. Kita ingin semuanya berdasarkan Pembukaan UUD 1945 yang menginginkan untuk menghapuskan segala bentuk penjajahan yang tidak berperikemanusiaan, kita ingin berdaulat adil makmur, kita meyakini kemerdekaan adalah rahmat Allah, kita ingin menjadi bangsa yang cerdas, negeri ini harus berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Itulah cita-cita bersama para pendiri negara dan para rakyat di dalamnya. Tenaga, pikiran, darah dan nyawa dikorbankan semata untuk mewujudkan itu semua. Tidak pernah terbersit angan-angan agar kelak ada sekelompok orang yang ugal-ugalan memimpin dengan negara ini dengan gaya-gaya premanisme. Kita semua menyadari, dalam melakukan upaya pembangunan lewat jalur politik, berbagai pihak sangat bisa berbeda cara dan gaya dalam mewujudkannya. Karena itulah setiap kelompok diberikan kesempatan untuk berpolitik untuk berkuasa dan memimpin pembangunan. Tapi tentulah tidak dengan cara-cara yang memaksakan diri dan mencelakakan pihak lain yang berbeda cara dan pandangan.

Pembubaran kelompok massa yang beraspirasi dengan tagar #2019GantiPresiden adalah hak berdemokrasi. Konyolnya kegiatan aspirasi ini dibubarkan oleh gaya-gaya premanisme, yang tragisnya dibiarkan oleh aparat hukum. Intimidasi para ulama dan pembubaran berbagai kegiatan dakwah oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan keresahan warga, entah warga yang mana, berjalan seenaknya. Aparat lagi-lagi melakukan pembiaran. Bahkan dengan enteng aparat menyatakan para pelaku adalah orang gila.

Sebelumnya massa muslim meminta aparat menegakkan hukum untuk menindak penista agama. Yang terjadi bukannya penangkapan, melainkan pembelaan oleh aparat. Ketika massa penuntut semakin besar dan dikenal sebagai Aksi Bela Islam, aparat juga meminta massa agar membubarkan diri, bukannya menerima kritikan publik bahwa hukum harus ditegakkan. Lagi-lagi kita tidak mengerti mengapa aparat menjadi pihak yang mendukung tindakan premanisme daripada tindakan yang memenuhi aturan demokrasi dan tidak melanggar hukum.

Kita juga bertanya-tanya ketika seorang Novel Baswedan yang bersikeras menegakkan hukum lewat lembaga KPK menjadi korban penganiyaan yang tak kunjung terungkap pelakunya. Sesuatu yang berdasarkan pengalaman praktis kepolisian sangat kecil kemungkinannya, karena banyak data pendukung pengusutannya. Kejadian ini sama nasibnya dengan kasus pembunuhan atas Munir yang tak kunjung tuntas.

Belum cukup dengan semua ketidakjelasan kasus-kasus di atas, kini terjadi aksi pemukulan atas aktivis Ratna Sarumpaet. Tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba sekelompok orang menciduknya di bandara kota Bandung dan menganiyanya hingga babak belur. Tentu dengan cepat kita menduga bahwa ini bukan kriminal murni. Yang bersangkutan bukan sedang bersitegang karena hal tertentu di bandara sehingga dipukuli oleh sekelompok orang.

Sebelumnya aktivis Neno Warisman juga mengalami intimidasi yang hebat di bandara. Rocky Gerung juga mengalami penolakan. Bahkan Ustadz Abdul Somad dengan enteng berdasarkan fitnah yang jelas ujung pangkalnya dikaitkan dengan isu HTI dan dituding berceramah untuk mewujudkan khilafah. Semua terjadi dengan cara-cara yang sama, yakni lewat pendekatan premanisme. Dan tidak satupun yang berujung kepada tindakan polisi atas semua pihak yang melakukan premanisme tersebut.

Berbeda hal yang biasa. Tapi berbeda dalam kepentingan bangsa haruslah disikapi dalam konteks demokrasi. Silahkan berbeda dan beradu argumentasi. Silahkan berebut simpati dari publik untuk setiap gagasan yang ada. Berdebatlah sebagai satria dalam demokrasi, jangan jadi preman politik. Kita tidak sedang dalam frame film aksi yang kedua belah pihak berbeda pikiran dan siap saling bunuh. Berbedalah, tapi jangan saling pukul atau saling bunuh! Jangan pernah berpikir mencederai atau membunuh karena menjalankan demokrasi. Ini bukan gelanggang preman, ini demokrasi, Demokrasi Pancasila![***]

*Penulis adalah Direktur Eksekutif Strategi Indonesia.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA