Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bumi Ini Hidup Dan Begerak, Jangan Menghujat Alam Dan Musim!

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/natalius-pigai-5'>NATALIUS PIGAI</a>
OLEH: NATALIUS PIGAI
  • Sabtu, 06 Oktober 2018, 14:11 WIB
Bumi Ini Hidup Dan Begerak, Jangan Menghujat Alam Dan Musim<i>!</i>
Natalius Pigai/Net
NENEK moyang kita telah mengajarkan tentang relasi dengan alam dalam sejarah panjang evolusi manusia bahwa gempa, tsunami, letusan, banjir dan kekeringan adalah fenomena alam yang senantiasa datang dan pergi silih berganti.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Di musim panas gejala el nino mengancam ekosistem dan kehidupan, di musim hujan la nina memporak-poranda miliu kehidupan. Tsunami, letusan gunung, lahar dan badai menyapu bersih, dan mampu menggoncangkan bumi tempat dimana manusia tinggal, lahir, tumbuh dan berkembang. Fenomena-fenomena alam ini sulit ditebak bisa menjadi murka ketika alam tidak bersahabat, tetapi juga berkat dikala alam lagi riang. Semua bergantung manusia!

Hari ini, Indonesia dihantam badai bertubi tubi. Kian hari alam makin beringas. Rentetan bencana alam, gempa di Lombok, Palu, meletusnya anak gunung karakatoa dan gunung sopuan serta berbagai peristiwa seakan-akan alam ini mau menyampaikan pesan kepada manusia di negeri ini bahwa dia masih hidup dan bergerak.

Dalam ilmu filsafat telah mengajarkan kita bahwa manusia adalah wujud nyata alam mini, sementara alam perwujudan manusia yang memiliki orang-orang hidup. Alam itu hidup dan bergerak ibarat manusia.

Amerika Serikat dan Eropa gejala alam seperti kekeringan bisa memiliki efek positif peningkatan kegiatan ekonomi. Demikian juga musim hujan hubungan antara curah hujan dan produktivitas pertanian yang konsisten juga memiliki dampak terhadap kesehatan seperti el nino telah dikaitkan dengan efek signifikan pada polusi udara di China Timur.

Sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Nature menemukan bahwa kekeringan mungkin memiliki peran dalam 21 persen dari semua konflik sipil antara tahun 1950 dan 2004, dan bahwa konflik sipil baru di daerah tropis dua kali lebih mungkin timbul pada musim kering ketimbang la nina. Karena panasnya terik mentari mempengaruhi sifat manusia menjadi makin buas dan beringas dibandingkan musim hujan dimana manusia berteduh dan termenung, membangun harmoni di bawah peraduan, bisa menikmati angin sepoi-sepoi di pegunungan dan nyiur melambai di tepian pantai.

Para peneliti menunjukkan bahwa tekanan ekonomi dari musim panas, dan juga stres akibat bencana alam yang disebabkan kekeringan, dapat menekan jiwa manusia, yang terkadang bisa menyebabkan perilaku agresif.

Salah satu efek utama yang terkait dengan el nino adalah meningkatnya potensi kebakaran di Indonesia juga seperti peristiwa legendaris, Ash Wednesday (abu di hari Rabu) pada tahun 1983 dikaitkan dengan el nino di Australia. Atau peristiwa Black Saturday (2009) terjadi di akhir sebuah la nina atau di Indonesia banjir senantiasa mengancam saat musim hujan.

Di masa lalu manusia dan alam adalah sahabat abadi, saling butuh dan saling bergantung. Manusia hidup karena  memanfaatkan segala jenis binatang, burung-burung di udara, ikan-ikan di laut, tumbuh-tumbuhan dan segala isinya, demikian pula Alam tidak akan berguna jika tanpa manusia bahkan saling menguntungkan, simbiose mutualisme.

Masyarakat pedesaan adalah manusia yang hidup secara autarkis, hidup dari alam (taken for granted). Alam tidak hanya sekedar sumber kehidupan tetapi juga alam menjadi sumber suci, pusat spiritualitas, sumber transendental antara manusia dan Tuhan pencipta semesta alam. Namun kini telah berubah. Alam hadir ibarat momok yang menakutkan. Mendengar kata gempa bumi, gunung meletus, tsunami, Banjir dan kekeringan seakan-akan mengancam kehidupan manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut kita selalu berasosiasi tindakan murka alam,  alam bertindak negatif, alam melakukan kejahatan pada manusia.

Alam pikir manusia tersandera dengan framing negatif tentang banjir, kering, gunung meletus, gempa bumi yang mendatangkan kerugian, dampak negatif yang ditimbulkan. Tetapi tidak pernah melihat sebagai fenomena alam yang membawah berkah, dampak positif sebagai konsekuensi dari siklus hidup manusia dalam berinteraksi dengan alam. Tidak pernah menghargai alam ini sebuah senyawa yang hidup!

Berbagai laporan pemerintah selalu menghitung dampak kerugian yang diderita akibat bencana. Pada tahun 2006, Pemerintah memperkirakan total kerusakan dan kerugian akibat bencana tsunami di Aceh dan Sumatera Utara mencapai Rp 42,7 triliun. Jumlah ini mencapai 2,2 persen dari total produk domestik bruto Indonesia. Demikian pula Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB) memperkirakan kerugian akibat bencana letusan Gunung Sinabung mencapai Rp 1,49 triliun.

Pada tahun 2000 hingga 2001 mencatat kerugian akibat banjir mencapai Rp 1,5 triliun. Bahkan Kementerian Sosial mencatat kerugian akibat banjir adalah dua per tiga dari kerusakan dan kerugian akibat bencana alam lainnya. Di tingkat internasional, FAO mencatat penggundulan hutan akibat bencana 1,3 juta hektar pertahun.

Itulah cara pandang kita terhadap alam. Seakan-alam begitu jahat dan manusia merugi. Tidak pernah menghitung atau melihat dampak positif akibat el nino dan la nina, Orang-orang penghuni gunung Merapi, api pijar yang memancarkan cahaya memuntahkan lahar dan lava sumber kesuburan dan kemakmuran. Namun wajar, bila cara pandang manusia terhadap alam begitu negatif menyebabkan murka, makin kesini alam kian mengamuk.

Pemerintah, politikus, pengamat, kaum terdidik mesti memahami, mengapa rakyat Kecil, miskin dan kumuh penghuni bantaran sungai masih mau menetap dan menolak untuk direlokasi meskipun bahaya mengancam kehidupan? Mereka tidak hanya sekedar para kaum urbanisasi, atau migran juga bukan migran sirkuler perkotaaan, juga bukan manusia tanpa hunian (tuna wisma) tetapi mereka mendapat manfaat positif hidup dibantaran sungai dan menerima manfaat karena banjir.

Penghuni aliran sungai menerima manfaat dalam berbagai aspek; ekonomi, interaksi sosial dan budaya juga kemudahan dan aksesibilitas dalam menunjang kehidupan yang mungkin tidak banyak diketahui publik.

Kita semua tersandera dengan stigma buruk tentang musim hujan (la nina) dengan bahaya banjir dan musim kemarau (el nino) bahaya kebakaran hutan. Suatu stigma buruk manusia modern terhadap alam. Sudah saatnya arus balik pemikiran manusia masa lampau bahwa musim hujan dan musim kemarau adalah berkah bukan murka.

Oleh karena itu, cita rasa masyarakat yang hidup di aliran sungai perlu di rekayasa agar daerah aliran sungai menjadi menarik, artistik, modern dan humanis.

Posisi Indonesia termasuk berada pada zona yang disebut ring of fire (cincin api). Zona tersebut sangat rentan terhadap bencana alam (gempa dan tsunami) bukan saja karena terletak pada tiga lempeng utama yaitu Euruasia, Indo Pasifik dan Indo Australia, namun juga terdapat patahan lokal (sesar) yang membentang dari Aceh hingga Papua.  Dapat saja mengancam kehidupan tetapi juga berkat bagi negeri gugusan 17 ribu pulau ini.

Jakarta adalah jendela Indonesia, kota metropolitan dihuni lautan manusia mencapai 10 juta malam hari dan 12 lebih di siang hari. Kota-kota metropolitan seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar dan lainnya adalah pusat urbanisasi dan anglomerasi perkotaan, perkembangan kota besar hingga tiga lingkaran besar, lingkaran dalam kota (inner city), lingkaran tengah (centre), lingkaran luar (outer city)

Situ-situ di negeri ini sebagai tempat penampungan air juga tidak tertata rapi bahkan banyak rumah kumuh, sekedar membuat pintu air masuk dan keluar.

Kita menyaksikan problematika ibukota negara harus menjadi beban bersama baik pemerintah pusat dan provinsi. Negara ini tidak harus malu belajar dari kota-kota besar di Asia Timur seperti Beijing, Tokyo, Seoul, atau Amsterdam, London, Paris New York di Eropa bahkan New Delhi, Bogota, Rio de Janeiro juga Kuala Lumpur.

13 buah sungai yang mengalir di kota metropolitas, sungai Mahakam yang membelai Kota Pontianak, Sungai Mahakam di tengah Samarinda, Sungai Musi melintasi di tengah Kota Venesia Timur Palembang, Kali Code di tengah Kota Yogya dihuni orang-orang marginal dan terpinggirkan, kumuh, jorok padahal memiliki sumber daya, kekuasaan sebagai kota-kota metropolitan, anggaran yang melimpah tidak sulit untuk menata sungai-sungai menjadi modern dan humanis.

Pemerintah sudah saatnya memikirkan agar sungai-sungai di kota-kota metropolitan membangun kanal-kanal besar dengan rumah-rumah yang artistik bagi penduduk, fasilitas umum, sanggar-sanggar seni, tempat-tempat rekreasi yang humanis dan rama lingkungan agar aliran sungai tidak menjadi momok yang menakutkan tetapi menjadi tempat yang menarik baik di kala musim el nino tetapi juga musim hujan la nina.

Akhirnya semua bencana alam sedang menteri signal bahwa Indonesia berada dalam lintasan bumi yang bernadi, hidup dan bergerak. Dapat saja mengancam kehidupan manusia. Jangan menghujat alam, jangan salahkan bumi. Tanya kepada bangsa ini seberapa besar mengatur irama menyertai gejala alam. Soal tempat hunian, jalur evakuasi, gedung-gedung pencakar langit, jembatan yang mampu bukan menahan bahaya tetapi menyesuaikan irama alam.

Seperti negeri sakura Jepang, Kota Los Angelos yang memiliki sistem warning, rumah-tahan gempa, jalur evakuasi dan tempat-tempat penyelamatan bagi rakyatnya karena mereka menyesuaikan nadi alam, sementara bangsa ini masih melihat alam sebagai ancaman dan murka. [***]

Penulis adalah kritikus dan aktivis

**) Catatan dari Lereng Merapi, 6 Oktober 2018

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA