Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Proyek Pariwisata Didanai Utang Bikin Masyarakat Pesisir Menderita! Inilah Catatan KIARA

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Kamis, 11 Oktober 2018, 11:57 WIB
Proyek Pariwisata Didanai Utang Bikin Masyarakat Pesisir Menderita<i>!</i> Inilah Catatan KIARA
Foto: Net
rmol news logo Dana utang pariwisata yang diberikan World Bank atau Bank Dunia dinilai jebakan semata bagi masyarakat pesisir Indonesia.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Sekretaris Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menegaskan, proyek pariwisata berbasis utang hanya akan berakhir pada perampasan ruang hidup dan ruang kelola.

Catatan KIARA pada 30 Mei 2018 lalu, Bank Dunia memutuskan untuk memberikan pinjaman atau utang sebesar 300 juta dolar AS atau setara dengan Rp 4,2 triliun kepada pemerintah Indonesia. Utang itu disebut untuk mendukung pembangunan Infrastruktur pariwisata di tiga kawasan, yaitu, Danau Toba, Mandalika, dan Borobudur. Dana itu juga rencananya dipakai untuk daerah wisata di sekitar Jawa Tengah bagian selatan.

Infrastruktur pendukung dimaksud meliputi pembangunan jalan baru, bandara baru, dan lain sebagainya. Bank Dunia bahkan mengklaim, akan ada 3 juta masyarakat Indonesia menerima manfaat dari pembangunan pariwisata.

Melalui siaran pers KIARA yang diterima redaksi, Kamis (11/10), Susan menuturkan, dana utang pariwisata dari Bank Dunia takkan sedikitpun membangun perekonomian masyarakat pesisir, yang menjadi target pembangunan pariwisata. Justru dengan dibangunnya banyak infrastruktur pariwisata menjadi ekstraktif serta tidak ramah lingkungan.

"Masyarakat pesisir telah menderita akibat proyek pariwisata karena tanahnya dirampas. Pariwisata, pesisir khususnya, merupakan modus baru perampasan ruang hidup di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,” katanya.

Pusat Data dan Informasi KIARA tahun 2018 mencatat, perampasan tanah untuk kawasan pariwisata dijustifikasi oleh Peraturan Presiden yang memandatkan pembentukan Badan Otorita Pariwisata (BOP) yang akan mengelola kawasan pariwisata yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui skema Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).

Sebagai contoh, hal ini dapat ditemukan di dalam Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2016 Tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba.

Di dalam Pasal 23 ayat 3 disebutkan bahwa BOP Danau Toba memiliki Hak untuk menyewakan dan/atau mengadakan kerja sama penggunaan, pemanfaatan, dan pengelolaan tanah dengan pihak ketiga serta menerima uang pembayaran pembayaran sewa dan/atau uang keuntungan hasil usaha kerja sama.

Fakta di lapangan membuktikan bahwa perampasan ruang, khususnya di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil benar-benar terjadi.

"Di Mandalika, ada 300 keluarga nelayan yang harus terusir dari tanahnya. Mereka harus meninggalkan kawasan tangkap yang selama ini menjadi daerah tangkapnya. Ini bukti bahwa proyek pariwisata merampas tanah masyarakat pesisir," tegas Susan.

Di tempat lain, akan terjadi praktek perampasan tanah serupa karena proyek pariwisata dengan skema KSPN terdapat di 10 kawasan di Indonesia, yaitu, Labuah Bajo-Flores, Wakatobi, Morotai, Tanjung Lesung Banten, Tanjung Kelayang, Kepulauan Seribu, dan Bromo Tengger-Smeru.

"Labuah Bajo Flores, ada 1.700 keluarga nelayan yang terusir dari tanahnya. Perampasan tanah masyarakat akan terus terjadi di kawasan pariwisata," ujar Susan.

Dia menegaskan, masyarakat di Indonesia terbukti mampu membangun pariwisata berbasis komunitas dan kesejahteraan ekonomi tanpa tergantung pada utang.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA