Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Korporasi Di Pilpres

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/margarito-kamis-5'>MARGARITO KAMIS</a>
OLEH: MARGARITO KAMIS
  • Rabu, 21 November 2018, 22:49 WIB
Korporasi Di Pilpres
Ilustrasi/Net
PILPRES, akan ditunjukan dalam uranian selanjutnya lebih mungkin dilihat sebagai kombinasi urusan uang dan politik. Pilpres, hampir sepenuhnya merupakan urusan ekonomi, bisnis besar yang memiliki tabiat khas.

Tetapi menariknya, orang yang benar-benar berduit besar, begitu yang dicatat Herbert T. Alexander dan Ralp Epperson lebih bergairah bertindak sebagai pengatur daripada masuk menjadi capres-cawapres.

Bepergian menempuh ribuan kilometer, memastikan tempat menginap yang masuk akal, menjamu orang yang antusias, entah palsu atau otentik, mengiklankan diri dan program di media, dan seterusnya, tidak pernah, dengan alasan apapun, sebagai hal gratis. Tidak. Semuanya membutuhkan uang. Besarannya tidak mungkin berada pada level logis masyarakat, maaf, pas-pasan, untuk tak mengatakan  miskin.


Kekuatan
Bukan pemerintah, melainkan korporasi, yang mendahului pemerintah Belanda menguasai wilayah Hindia Belanda, mengkolonisasinya, sebelum akhirnya nama ini berganti menjadi Indonesia.

Dari semula berdagang secara monopolisitik, perlahan korporasi ini, dengan caranya sendiri, ikut campur dalam penyelenggaraan pemerintahan kerajaan-kerajaan di Hindia Belanda.

Agak berbeda dengan pesaingnya di Inggris, VOC tidak berhasil menggalang kekuatan di negeri sendiri, di parlemen, untuk misalnya mengubah, menciptakan kebijakan baru. Untuk memastikan eksistensi mereka di Hindia Belanda. Yang terjadi malah mereka bubar, meninggalkan hutang, dan hutang ini harus diambil alih pemerintah.      

Dalam kasus Inggris abad ke-17, korporasi, sebagaimana dicatat Daron Acemoglu dan James A. Robson berandil besar merangsang terciptanya keadaan menuju Glorius Revolution. Menjalin koalisi dengan Dinasti Tudor dan pebisnis di kawasan Atlantik selama kurang lebih 18 tahun, tepatnya pada tahun 1670, menghasilkan terbentuknya partai Whig.

Mereka merasuk ke dalam parlemen, dan memastikan terjadinya Glorius Revolution 1688. Revolusi ini menamatkan, untuk selama-lamanya, kekuasaan Raja James II.

Revolusi ini, cukup jelas,  mengawali terbentuknya tatanan demokratis Inggris sesudahnya, melalui Declaration of Rights 1689, Petition of Rights dan Act of Union 1707. Hukum yang disebut terakhir ini  mengakhiri absolutisme kerajaan, dan mempermanenkan supremasi parlemen dalam tata negara  Inggris.

Tatanan baru ini juga mengakhiri praktek monopoli perdagangan budak dari Afrika khas Royal African Company.
Di belahan dunia lainnya, Amerika, tulis Daron dan James usai perang saudara Utara- Selatan memicu perkembangan pesat jalur kereta api, industri dan perdagangan.

Kedaan ini melahirkan sejumlah taipan. Karena kesuksesan ekonominya, para taipan dan perusahaan raksasa itu berubah menjadi pongah. Cornelis Vanderbild dan John D. Rockeffeler ditunjuk kedua penulis ini dalam nuansa keras kepala.

John D. Rockeffeler, pendiri Standar Oil pada tahun 1870, dan dalam tempo tidak lebih dari 12 tahun berhasil menyingkirkan pesaing-pesaingnya, berhasil pula memonopoli bisnis minyak, dengan pola yang pada waktu itu disebut "trust". Pada tahun 1890, Standar Oil mengendalikan 88 persen proses penyulingan minyak di Amerika Serikat.  

John tidak sendirian. Kelak muncul John Pierpon Morgan,  pendiri konglomerasi perbankan. Bersama Andrew Carniege, Morgan mendirikan U.S Steel Company pada tahun 1901. Kehebatan Morgan terlihat dari kata-katanya kepada Theodore Rosevelt, presiden yang menggantikan William McKenly. Katanya, "If we have done anything wrong, sent your man to my man and they can fix it up"


Mengatur
Entah karena itu bukan, korporasi yang memang bisa memusingkan pemerintah, tetapi seperti apa yang dialami Morgan, pemerintah memiliki kekuatan jauh lebih dahsyat menjungkalkan, membuat mereka terkapar.

Satu-satunya senjata korporasi adalah uang, hal yang begitu penting peranannya bagi capres untuk membekali dirinya mengarungi lautan pilpres, yang penuh gelombang mematikan.

Dahsyatnya kekuatan pemerintah itu dibuktikan oleh William McKinley. McKinley menuntut Northern Securities Company, dengan menggunakan UU pencegahan monopoli. McKinley, entah apa sebabnya mati dibunuh dalam usia pemerintah periode kedua yang berumur setahun. Ia digantikan oleh Theodore Rosevelt. Menariknya kasus Northern Securities Company dihentikan pada periode ini.

Tetapi, Rosevelt yang dikenal memusingkan korporasi, diketahui maju kembali dalam pilpres 1912. Ia kalah, sesuatu yang menurut Ralp Eppreson, memang dirangcang. Kata Epperson, pendapat yang mengatakan bahwa Perkins dan Munsey mungkin menginginkan Wilson menang, atau calon dari Demokrat manapun selain William Jenings Bryan, sebagian didukung oleh fakta bahwa Perkins memberikan sumbangan dana yang sangat besar untuk kampanye Wilson.

Bukan hanya Wilson tetapi Rosevelt, kata Epperson,  sebagian besar dana kampanye Rosevelt dipasok oleh dua kaki tangan Morgan yang ingin mengalahkan Taft. Wilson menang, dan jadilah The Federal Reserve Act. Orang korporasi, cukup meyakinkan, berbeda dengan orang kebanyakan. Dalam penilaian Walter Lipppman, penasihat Woodrow, jurnalis kawakan yang bersama John Maynard Keynes, ekonom kawakan berkebangsaan Inggris ini, turut mengarsiteki perjanjian Versailes mengakhiri perang dunia pertama, orang kebanyakan tidak lebih sebagai "kawanan kebingungan".
 
Orang korporasi tidak mungkin kebingungan. Mereka bukan tipikal orang kebanyakan. Mereka tahu, bahkan menentukan, dalam batas yang mungkin, menentukan siapa yang harus jadi capres, jumlah kandidat, siapa yang harus menang dan siapa yang harus kalah.

Sayang sekali hanya tersedia desas-desus, bukan data yang kredibel yang menggambarkan korporasi-korporasi Indonesia bertindak khas korporasi khas Morgan.

Tidak hanya menyediakan uang, memberi atau menyumbang menurut terminologi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tetapi ikut mengatur pencalonan capres-cawapres, bahkan mengatur pemenangnya. Tak memberi sumbangan kepada capres, pasti bukan pilihan bijak dan menjanjikan bagi korporasi Indonesia. Soalnya adalah bagaimana cara memberi, kapan dan dimana memberinya. Ini disebabkan KPK cukup bergigi menggebrak korporasi besar, dan rasanya PPATK tidak mematikan lampunya. [***]


Penulis merupakan Doktor Hukum Tata Negara, Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA