Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tercium, Bau Manipulasi Di Balik Penerimaan Negara

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/widian-vebriyanto-1'>WIDIAN VEBRIYANTO</a>
LAPORAN: WIDIAN VEBRIYANTO
  • Senin, 14 Januari 2019, 00:59 WIB
Tercium, Bau Manipulasi Di Balik Penerimaan Negara
rmol news logo Data mengenai penerimaan negara meningkat bukan prestasi yang layak dibanggakan oleh pemerintah. Sebab, penerimaan yang diraih cenderung manipulatif.

Ekonom senior DR. Rizal Ramli menjelaskan bahwa penerimaan itu meningkat hanya karena asumsi harga minyak dibuat rendah, yaitu 48 dolar AS per barel di APBN 2018. Sementara asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) mencapai 68 dolar AS per barel atau lebih tinggi dari asumsi dalam APBN 2018.

Selisih antara asumsi APBN dengan pergerakan harga minyak dunia membuat penerimaan negara dari sektor migas otomatis meningkat tajam, baik dari pajak, maupun penerimaan lain non-pajak.

“Itu kok ada yang ngaku-ngaku prestasi hebat soal anggaran? Manipulatif banget sih?” ujar pria yang akrab disapa RR dalam akun Twitter pribadinya, Minggu (13/1).

Lebih lanjut, dia menyoroti data yang dirilis Bloomberg tentang tax ratio negara-negara di Asia Tenggara. Tax ratio Indonesia sebesar 10,33, berada di bawah negara lain seperti Laos, Filipina, dan Malaysia.

Atas alasan itu, Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu meminta pemerintah tidak sesumbar.

Kritik RR terhadap pengelolaan ekonomi negara tidak cukup sampai di situ. RR turut memunculkan data mengenai tax ratio era Jokowi. Dalam grafik tax ratio definisi sempit, grafik secara konsisten bergerak menurun dari tahun 2014 hingga 2019. Sementara grafik tax ratio definisi luas, sempat menurut dari 2014 hingga 2017 dan mengalami kenaikan di tahun 2018.

“Tax ratio terendah (9,5 persen) tahun 2018 dibandingkan 2015 (11,6 persen) atau ketika  RR Menko tahun 2000 hingga 2001 (12,5 persen). Bahkan setelah ubah definisi (merah), tetap rendah. Itulah mengapa perlu tambah utang terus dengan yield tertinggi di kawasan (8,5 persen), Vietnam hanya 5 persen!” urainya.

Indonesia berhutang dengan yield tertinggi di kawasan Asia Tenggara, yakni 8,5 persen. Hal itu juga yang kemudian membuat lembaga pemberi pinjaman asing dan para bankir senang dengan Indonesia.

”Ya dapat bonus hadiah Menkeu terbaik deh. Rakyat dan bangsa dirugikan trilliunan! Ini kejahatan kerah putih. Rupiah menguat dengan suntikan bunga pinjaman bunga tinggi!” terang RR.

Menurutnya, mengandalkan stabilitas rupiah dengan pinjaman yang semakin besar dan yield yang tinggi memang baik untuk jangka pendek. Tapi untuk jangka menengah, kebijakan ini sangat berbahaya.

“Bagaikan beri ‘bom’ untuk pemerintah berikutnya! Begini kok dibilang pengelolaan “prudent”, hati-hati? Dimana hati-hatinya? Kalau tax ratio tinggi (15,6 persen sesuai target resmi Presiden Jokowi) baru prudent,” pungkasnya. [ian]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA