Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pancasila Sebagai Hulu Kian Terabaikan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Rabu, 23 Januari 2019, 08:32 WIB
Pancasila Sebagai Hulu Kian Terabaikan
Foto: Dok
rmol news logo Politisi Indonesia diingatkan terlalu sibuk mengurusi urusan hilir politik. Sehingga, persoalan Pancasila sebagai hulu-nya sering diabaikan.

"Saat ini, politisi banyak berdiskusi persoalan di hilir saja. Padahal yang sudah rusak adalah hulunya. Selain pemimpin yang baik, bangsa ini harus memiliki sistem yang baik pula, caranya kembali ke UUD 1945 dan perubahan dilakukan secara addendum," tutur  lumni dan penasehat Persatuan Alumnu Gerakan Siswa Nasional Indonesia (PA GSNI) Jenderal TNI (Purn) Tyasno Sudarto.

Tyasno berbicara dalam rangkaian acara peringatan hari ulang tahun ke-60  Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI) dan syukuran PA GSNI di Jakarta.

Hadir pula Ketua Umum GSNI Soenarto, Sekjen GSNI Triwi Husodo, pendiri GSNI dan juga penasehat PA GSNI, Waluyo Martosugito, Ketua Umum Pewarnas Hj M. Suprapti, Ketua Umum Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI) Moh MC Soenhadji, Dewan Pengurus Nasinal Keluarga Besar Marhaenis Benny Soedhiro, serta Sekjen Pemuda Demokrat Indonesia  Iwan Hendrawan.

Waluyo Martosugito mengatakan, bangsa Indonesia menjadi kenyataan karena dua kali ada komponen bangsa merelakan dominasinya demi persatuan.

Yakni, pertama dalam Sumpah Pemuda 1928, para Pemuda Jong Diana merelakan bahasa Melayu yang dijadikan Bahasa Indonesia. Kedua, penetapan lima sila Pancasila sebagai Dasar Negara dalam Pembukaan UUD 1945.

Waluyo mengingatkan adanya kenyataan yang tak menggembirakan, terkait erat dengan masih bertahannya tiga faktor yang membuat Pancasila tetap masih manganar dalam haru biru perkembangan politik Indonesia.

"Pertama, dalam ingatan bersama banyak kalangan, Pancasila masih dipandang tercemar karena kebijakan Soeharto yang pernah menjadikan Pancasila sebagai alat politik mempertahankan status quo kekuasaan," ujarnya.

Kemudian kedua, terjadinya liberalisasi politik dengan penghapusan tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Liberalisasi politik ini memberi peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain.

"Ketiga, adanya desentralisasi dan otonomi daerah yang sedikit banyak memperkuat semangat kedaerahan, berbau nasionalisme lokal," ucapnya.

Iwan Hendrawan dalam kesempatan itu menyinggung isu TAP MPR VII/2001 tentang Visi Misi Indonesia Masa Depan.

Menurut dia, pejabat publik sekarang keranjingan membuat kewajiban dan menyampaikan visi dan misi.

"Sebenarnya hal itu tidak perlu dilakukan, karena seluruh penyelenggara negara wajib menjalankan perintah UUD 1945, yang mana visi misi bangsa Indonesia telah termaktub dalam pembukaan UUD 1945," ujar Iwan.

Iwan menegaskan, visi misi bangsa tidak bisa dibuat oleh orang per orang, tapi merupakan kerja kolektif dan memiliki legitimasi dari rakyat dalam perwujudan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Dalam acara sambung rasa, Moh MC Soenhadji yang era Bung Karno dikirim ke luar negeri pada saat masih kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), masih merasakan kuatnya nasionalisme Indonesia. Hal itu perlu terus ditularkan ke generasi berikutnya.

Dia ingat saat itu, mahasiswa-mahasiswa yang dikuliahkan ke luar negeri dengan sebutan Mahasiswa Ikatan Dinas (Mahid), rata-rata untuk belajar teknologi dan ekonomi.

“Kita  semua perlu persiapkan saat ini, sumber daya manusia untuk menyongsong tahun 2045 yang mana Indonesia akan menjadi negara enam besar dunia dan dalam tingkat GDP yang besar," ujarnya.

Acara tersebut ditutup memotong tumpeng dan sambung rasa berupa pemberi wejangan pendiri dan penasehat PA GSNI.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA