Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Membayangkan Perasaan Dutabesar Federasi Rusia

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-5'>TEGUH SANTOSA</a>
OLEH: TEGUH SANTOSA
  • Rabu, 06 Februari 2019, 00:36 WIB
Membayangkan Perasaan Dutabesar Federasi Rusia
Dubes Lyudmila G. Vorobieva/RMOL
SAMPAI malam hari ini saya berusaha sebisa mungkin membayangkan perasaan Dutabesar Federasi Rusia Lyudmila Georgievna Vorobieva manakala dirinya mendengar tudingan mengenai propaganda Rusia dalam pemilihan presiden Indonesia.

Itu tudingan yang tidak boleh dan tidak mungkin dianggap sederhana, karena disampaikan seorang presiden, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, secara konsisten beberapa kali.

“Ada tim sukses yang menyiapkan sebuah propaganda yang namanya propaganda Rusia, yang setiap saat selalu mengeluarkan semburan-semburan fitnah, yang setiap saat selalu mengeluarkan semburan-semburan dosa, yang setiap saat selalu mengeluarkan semburan-semburan hoax,” kata Jokowi di depan massa Alumni #01 di Tugu Pahlawan Surabaya, Sabtu (2/2).

Tudingan senada disampaikannya sehari kemudian, (Minggu, 3/2) saat bertemu Sedulur Pengusaha Kayu dan Mebel di Solo. Srategi kampanye ala konsultan asing yang digunakan kubu oposisi, kata Jokowi, berpotensi memecah belah masyarakat.

“Seperti yang saya sampaikan, teori propaganda Rusia seperti itu… Memang teorinya seperti itu,” kata Jokowi lagi.

***

Dubes Vorobieva yang saya kenal punya banyak kebijaksanaan.

Dalam sesi wawancara di bulan April 2018, Lyudmila Vorobieva menyampaikan satu kebijaksanaan yang diambilnya dari pemikiran bangsa Rusia yang sudah mengalami dinamika dalam percaturan politik dunia sedemikian rupa.

Plokhoy mir luchshe khoroshey voyny, atau perdamaian yang buruk lebih bagus daripada peperangan yang baik.

Kebijaksanaan ini membuat saya tercenung, dan sesaat membandingkan-bandingkannya dengan peribahasa Latin yang terkenal itu, si vis pacem, para bellum, yang artinya, bila ingin berdamai harus siap menghadapi perang.  

Pertemuan terakhir dengan Dubes Vorobieva adalah dalam resepsi perayaan kemenangan Revolusi Kuba di Hotel Borobudur bulan Januari lalu.

Dubes Vorobieva bertanya kepada saya: “Anda kemana saja, seperti menghilang.”

Dia kira saya sibuk karena ikut mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

Saya pun menggelengkan kepala.

Dalam konser untuk merayakan HUT ke-263 Mozart dan HUT ke-70 Jaya Suprana di Taman Ismail Marzuki  tanggal 27 Januari yang lalu, kami sekilas bertemu, walau tak sempat bertukar cerita. Begitu banyak tamu yang ingin berbicara dengannya. Hari itu Dubes Verobieva mendapat kehormatan khusus dari Jaya Suprana.

Seorang pianis Rusia, Anna Volovich, ikut tampil di dalam konser membawakan komposisi Dedemit karya Jaya Suprana diiringi sendratari yang menggambarkan dunia gaib nusantara.  

Saya kira Dubes Vorobieva cukup mengenal alam pikiran bangsa-bangsa di kawasan ini. Ia melewati masa kecilnya di dua negara Asia Tenggara, Thailand dan Laos. Sampai kini ia masih bisa menggunakan bahasa kedua negara itu.

Ketika menempuh pendidikan di State Institute of International Relations (MGIMO), Dubes Vorobieva pun dengan mudah menentukan minatnya, kawasan Asia Tenggara.   

Tamat kuliah, ia sempat mengajar bahasa Laos di almamaternya, sebelum ditugaskan ke Laos, lalu Thailand, dan pernah juga menjadi Dubes di Kuala Lumpur, Malaysia.

Dari Malaysia, dia ditarik kembali ke Moskow untuk menempati posisi Dirjen Departemen Asia Ketiga, yang meliputi 10 negara Asia Tenggara, Jepang, Australia, Selandia Baru dan negara-negara di Pasifik.

Ketika baru memulai tugasnya di Indonesia, tahun lalu, Dubes Vorobieva dihadapkan pada satu persoalan yang barangkali tidak begitu pelik.

Tsamara Amany Alatas dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam debatnya dengan Fadli Zon dari Partai Gerindra menyinggung Rusia yang tidak demokratis dan Vladimir Putin yang diktator dan otoritarian. Tsamara mendasarkan penilaiannya pada laporan media Barat.

Dia juga menyebut Rusia sebagai negara dengan indeks korupsi yang lebih buruk dari Indonesia, berdasarkan data Transparancy International tahun 2017.

Merasa perlu meluruskan perdebatan di ruang publik Indonesia yang melibatkan politisi-politisi Indonesia dan menyerempet negeri beruang merah, Kedubes Federasi Rusia merasa perlu untuk mengutus diplomat Sergey Drobyshevskiy ke kantor PSI untuk bertemu dengan Tsamara.

Ketika saya tanyakan soal ini kepadanya, Dubes Vorobieva menjawab, awalnya datar, “Salah seorang diplomat kami telah bertemu dengan dia, dan persoalan ini sudah selesai.”

Ia melanjutkan penjelasan itu dengan satu pertanyaan, “Apa kriteria demokrasi? Apa sebenarnya demokrasi?”

Menyadari bahwa itu bukan pertanyaan untuk saya, saya menunggu Dubes Vorobieva menyelesaikan kalimatnya.

Maka katanya, “Bila Anda melihat apa yang baru-baru ini terjadi di Rusia, kami menggelar pemilihan presiden. Banyak pemantau yang hadir dari banyak negara. Mereka mengkonfirmasi bahwa ini adalah pemilihan yang transparan dan legitimated. Presiden kami dipilih oleh 77 persen pemilih. Ini di luar perkiraan dan belum pernah terjadi sebelumnya. Banyak pemimpin negara lain yang saya rasa cemburu pada hasil yang fantastis ini.”

Perolehan suara Vladimir Putin dalam pemilihan presiden terakhir, kata dia lagi, memperlihatkan bahwa masyarakat Rusia terkonsolidasi di sekitar pemimpin mereka karena hal-hal yang dilakukannya untuk masyarakat.

“Kalau bukan demokrasi, lantas ini apa?” sambungnya.

Jadi mengapa masih ada anggapan miring tentang Rusia?

Dubes Vorobieva mengatakan, cara pandang seperti itu adalah hasil framing yang dikembangkan media Barat, termasuk industri film Hollywood, yang selalu menggambarkan Rusia sebagai makhluk yang jahat. Pemimpin negara lain juga ada yang melakukan hal serupa itu.

Dia mendorong generasi muda Indonesia  mempelajari Rusia, melihat dengan mata kepala sendiri, agar tidak terjebak pada demonizing yang dilakukan pihak lain.

***

Tidak lama setelah tudingan propaganda Rusia disampaikan Jokowi di Surabaya dan Solo, saya sudah punya keinginan untuk menghubungi langsung Dubes Vorobieva.

Tetapi saya ragu-ragu.
Saya kira Dubes Vorobieva sangat terpukul dengan pernyataan itu, mengingat selama ini  ia selalu mengembangkan pandangan yang positif terhadap Indonesia dan hubungan kedua negara.

Hari Senin menjelang siang (4/2), Kedubes Federasi Rusia melalui akun Twiiter @RusEmbJakarta memberikan jawaban sekaligus bantahan atas pernyataan Jokowi.

Dari kalimat yang digunakan, Kedubes Rusia sangat berhati-hati, tidak mau membuat situasi menjadi lebih buruk lagi.

Concern utama Kedubes Rusia adalah mengklarifikasi posisi mereka dalam hingar bingar pemilihan presiden Indonesia. Dan saya kira, sejauh ini twit Kedubes Rusia itu berhasil menggarisbawahi sikap mereka yang tidak ikut campur dalam urusan politik domestik di Indonesia.   

Kedubes Rusia mengingatkan bahwa istilah “propaganda Rusia” digunakan dalam pilpres di Amerika Serikat pada tahun 2016 dan sama sekali tidak berdasarkan pada realita.

“Kami menggarisbawahi bahwa posisi prinsipil Rusia adalah tidak campur tangan pada urusan dalam negeri dan proses-proses elektoral di negara-negara asing, termasuk Indonesia yang merupakan sahabat dekat dan mitra penting kami,” tulis Kedubes Rusia lagi.

Tidak lama setelah twit Kedubes Rusia itu, redaksi RMOL mengutipnya sebagai berita, untuk melengkapi rangkaian berita soal proganda Rusia ini.

Adapun saya, mengirimkan sebuah pesan kepada Dubes Vorobieva.

“We quote the statement from the Twitter. I hope you do not mind,” tulis saya dalam pesan WA sambil menyertakan link berita dari RMOL.

“No, you are welcome to do so,” jawab Dubes Lyudmila Vorobieva segera.

“Spasiba, Mam,” tulis saya lagi.

“Sama-sama,” jawabnya.

Pun sampai disini saya masih belum bisa memahami apa yang sedang dibayangkan Dubes Lyudmila Vorobieva.

Saya harap, soal “propaganda Rusia” ini tidak berdampak kurang baik pada hubungan kedua negara. Semoga. [guh]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.