Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tawazun Dalam Berbangsa

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/sudarnoto-a-hakim-5'>SUDARNOTO A HAKIM</a>
OLEH: SUDARNOTO A HAKIM
  • Kamis, 07 Februari 2019, 15:13 WIB
Tawazun Dalam Berbangsa
Foto: Net
DALAM sebuah pertemuan dengan komunitas Haji Mandiri Pondokaren belum lama ini ada permintaan penting kepada penulis untuk menjelaskan fenomena sikap keras atau ekstrim yang muncul di tengah kehidupan masyarakat.

Sikap keras atau ekstrim ini terjadi dalam berbagai bentuk yang bervariasi, antara lain dalam bentuk ujaran, pikiran, tindakan atau aksi.

Media sosial telah menjadi satu instrumen atau alat penting dan nampak berpengaruh kuat terhadap muncul dan berkembangnya apa yang disebut oleh komunitas/jamaah Haji Mandiri Pondokaren itu sebagai kecenderungan ekstrim.

Mengapa dalam waktu yang begitu cepat, muncul banyak orang yang kaku, keras, hitam putih, pemarah, bahkan atas nama agama kemudian sikapnya mengeras menyalahkan siapapun yang tidak sepandangan dan sekeyakinan dengan mereka.

Ditambah lagi, jika dikaitkan dengan pilihan, pandangan dan sikap politik. Heboh media sosial tak terhindarkan. Hal ini disamping menimbulkan keresahan atau kekhawatiran yang cukup serius di kalangan masyarakat, juga tidak akan menyehatkan bagi kehidupan berbangsa.

Tidak sedikit  pakar bidang pendidikan dan psikolog keluarga berpandangan bahwa tanda tanda atau indikasi ekstrimisme ini terjadi sejak seseorang mulai menutup dirinya untuk menerima perbedaan cara berpikir dan budaya. Yang bersangkutan bahkan merasa bahwa keyakinan dan pandangannya lebih hebat, lebih murni, lebih benar dan jenuin melampaui keyakinan dan pandangan orang lain.

Mereka ini sangat berkepentingan untuk kemudian mengajak orang lain agar memiliki dan menerima cara berpikir yang sama dengan dirinya dengan berbagai macam cara, dari cara yang persuasif hingga cara melalui paksaan, intimidasi, bullying dan cara cara lainnya.

Sesungguhnya perbedaan dan keragaman adalah sesuatu yang biasa dan natural saja. Banyak pilihan tersedia dalam kehidupan dan justru karena kemajemukan, pluralitas dan keberbedaan inilah sebetulnya yang mendorong masyarakat untuk bersekutu, beraliansi dan bekerjasama membangun dan memperkokoh sebuah bangunan atau rumah bangsa bersama.

Secara teologis doktrinal Islam pun, misalnya, menegaskan bahwa segala perbedaan termasuk perbedaan suku, bangsa, ras dan termasuk agama dan keyakinan tidaklah untuk dipertentangkan. Antagonisme atau Tafarruq untuk alasan apapun tidak dibenarkan secara keagamaan/teologis, secara kemanusiaan, sosial dan politik.

Untuk mewujudkan hal ini, ada sejumlah prasyarat yang haruslah dipenuhi:

1. Kesediaan dengan sepenuh hati dari seluruh elemen masyarakat untuk mengikatkan diri sebagai keluarga besar  mewujudkan harapan atau cita-cita luhur kebangsaan ke depan. Dedikasi untuk memperkokoh kebersamaan atau Ukhuwah (Islamiyah, Basyariyah, Insaniyah dan Watoniyah) dan berjuang bersama untuk cita-cita kebangsaan bersama haruslah benar-benar terejawantahkan secara kongkrit, bukan slogan.

2. Kesediaan secara tulus untuk saling berbagi (sharing) demi kepentingan bangsa yang lebih luas; menghindari, mencegah dan melindungi bangsa ini secara bersama sama agar tidak dibajak, diambil dan dirampok oleh siapapun baik pribadi maupun kelompok haruslah menjadi kesadaran kolektif semua warga bangsa.

3. Kesediaan seluruh elemen bangsa untuk saling menghargai atau respek kepada sesama apapun perbedaan agama dan kepercayaan, suku, bahasa, ideologi dan partai. Dengan sikap respek ini, maka setiap orang atau kelompok tidak saja sekedar memberikan pengakuan eksistensial terhadap orang dan komunitas lain yang berbeda beda, akan tetapi sekaligus juga menjaga dan merawat martabat dan kedaulatan sesama warga bangsa. Tidak boleh seseorang, kelompok dan bahkan negara yang merusak prinsip ini dan melanggar martabat dan kedaulatan kemanusiaan warga bangsa.

4. Sejalan dengan pemikiran di atas, maka tidak ada tempat bagi siapapun termasuk negara untuk mendiskriminasi seseorang atau kelompok tertentu untuk dan karena alasan apapun. Diskriminasi tidak saja merusak nilai-nilai kemanusiaan universal, akan tetapi juga melanggar prinsip dan ajaran agama, bertentangan dengan Falsafah bangsa Pancasila sekaligus menghancurkan demokrasi.

Tawazun adalah cara pandang dan sikap seimbang tidak ekstrim, moderat atau equilibrium yang sangat ditekankan bahkan oleh ajaran agama.

Secara riil, Tawazun termanifestasikan dalam sikap terbuka, kesediaan untuk menerima dan menghargai keberbagaian, keberbedaan dan berbagai sikap sebagaimana yang diuraikan di atas.

Demokrasi, sebagaimana yang dibangun selama ini, dengan demikian merupakan cara yang sangat tepat dalam memperkokoh prinsip Tawazun karena nilai esensial atau prinsip yang terkandung di dalamnya memang sangatlah bersesuaian. Karena itu, sangatlah tidak bisa dipahami dengan nalar sehat dan tidak bisa dipertanggungjawabkan jika atas nama demokrasi atau menggunakan instrumen demokrasi akan tetapi  justru berlaku ekstrim, bersikap hitam putih dan egosentrik.

Dalam konteks Keindonesiaan, maka Tawazun artinya komitmen terhadap Pancasila karena nila-nilai yang terkandung di seluruh Sila memang memberikan pedoman prinsipal bagi semua warga dalam merawat dan mengelola negara dan bangsa ini.

Tawazun haruslah terimplementasikan secara menyeluruh dalam membangun dan memperkokoh bangsa ini dan peran komunitas, keluarga, seluruh kekuatan civil society sangatlah kunci.[***]


Penulis merupakan Asisten Stafsus Presiden dan Majelis Dikti PP Muhammadiyah




Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA