Sebab, setiap orang bisa memproduksi informasi apa saja tanpa ada penyaring. Bahkan, sambungnya, di media sosial fakta bisa dikalahkan oleh opini dan yang salah bisa jadi seolah benar.
“Sehingga tidak jarang membuat para pembuat kebijakan maupun politisi menjadikan media sosial sebagai alat agitasi dan propaganda,†tegasnya dalam Forum Dialog dan Literasi Media Sosial, Seminar Pra Tanwir Muhammadiyah di Bengkulu, Kamis (14/2).
Diskusi turut dihadiri oleh Menteri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara, dan jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah, seperti Dadang Kahmad, Yunahar Ilyas, Taufiqurahman, dan Dahlan Rais.
Atas alasan itu, Haedar menggelorakan slogan “Literasi Pencerahan†dalam Tanwir Bengkulu, yang akan resmi dibuka Presiden Joko Widodo pada Jumat (15/2). Dia menjelaskan bahwa slogan tersebut merupakan pengamalan ayat pertama yang diturunkan Allah SWT, yakni iqro atau baca.
“Maka di forum tanwir ini kita juga akan menggunakan diksi "Literasi Pencerahan". Diksi ini harus digelorakan, sebab cerah itu bagus dan Islam itu mencerahkan. Ayat pertama yang diturunkan Allah itu sangat mencerahkan,†tegasnya.
Dalam melawan informasi yang membodohkan, kata Haedhar, Muhammadiyah harus bekerja sama dengan pemerintah melakukan gerakan literasi yang berkeadaban dan menyehatkan.
“Kita lawan hasrat-hasrat alamiah dan primitif seperti kebencian, amarah. Naluri-naluri seperti ini ketika menemukan ruang, maka seperti benih yang menyebar. Keburukan-keburukan itu lama-kemalaan akan seolah menjadi benar,†ingatnya.
Dia mengajak kader persyarikatan untuk memverifikasi, mengolah, dan menyeleksi informasi yang diterima.
“Kalau otak kita terbiasa mengolah informasi, maka akan menjadi cerdas,†tegasnya.
[ian]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: