Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Penguasaan Lahan Dan Jejak Buruk Elit Politik di Sektor Tambang

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Kamis, 28 Februari 2019, 08:28 WIB
Penguasaan Lahan Dan Jejak Buruk Elit Politik di Sektor Tambang
Prabowo Subianto dan Joko Widodo/Net
rmol news logo Isu konsesi lahan besar mendapat sorotan yang luas dan terus berlangsung hingga saat ini pasca debat Pilpres putaran kedua lalu.

Direktur Eksekutif Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menilai polemik penguasaan lahan ini, terutama perdebatan politik sejumlah politisi di dua lingkaran capres-cawapres, hanya menjadi dagangan politik semata.

"Itu tidak secara serius untuk bicara bagaimana ketimpangan atas penguasaan lahan oleh segelintir orang ini bisa diatasi," tuturnya.

Namun demikian, keengganan untuk memperdebatkan serius persoalan itu tampak rasional mengingat kedua capres peserta Pemilu 2019. Selain itu sejumlah elit politik di lingkaran pasangan capres adalah aktor penting persoalan penguasaan lahan di Indonesia.

Merah Johansyah menyebutkan, dalam sektor tambang, misalnya, di lingkaran Joko Widodo-Maruf Amin terdapat Luhut Binsar Pandjaitan yang menguasai lahan seluas 21.106 hektar di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Oesman Sapta Oedang sebesar 94.748 hektar yang tersebar di Pulau Karimun-Riau, Kayong Utara-Kalimantan Barat, Barito Utara-Kalimantan Timur, dan Tanah Bumbu-Kalimantan Selatan; Harry Tanoesoedibjo sebesar 151,434 hektar yang tersebar di Musi Banyuasin-Sumatera selatan, Jusuf Kalla menguasai lebih dari 13,791 hektar di Kaltim, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah; Surya Paloh sebesar 16.124 16,124 hektar di Aceh; dan Aburizal Bakrie sebesar 294,017 hektar di Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sumatera Utara, dan Kalimantan Timur.

Prabowo Subianto sendiri menguasai lahan seluas 102,770 hektar di Kaltim. Demikian pula cawapres pasangannya, Sandiaga Uno sebesar 541,022 hektar termasuk di Kalteng, Sumsel, dan Jatim.

Beberapa nama lain di lingkaran Prabowo –Sandi juga menguasai lahan yang tidak sedikit, antara lain Maher al Gadrie sebesar 53,128 hektar di Sumsel dan Jambi, Ferry Mursyidan Baldan bersama istrinya, Hanifa Husein menguasai 5,368 hektar di Kaltim, dan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto sebesar 5,7 hektar di Cepu, Blora, Jawa Tengah.

"Penguasaan lahan dalam jumlah yang besar ini serta aktivitas pertambangan di atas lahan-lahan tersebut telah dan sedang membawa dampak yang buruk bagi rakyat dan lingkungan," ujarnya.

Merah mencontohkan, dalam kasus PT Adimitra Baratama Nusantara milik Luhut Binsar Pandjaitan.

"Perusahaan ini terbukti telah menyebabkan rumah-rumah warga amblas, ruas jalan putus total akibat pengerukan batu bara yang terlampau dekat pemukiman di Sanga-Sanga, Kalimantan Timur pada akhir 2018 lalu," paparnya.

Contoh lain, bisa ditemukan dalam kasus pengeboran migas PT Lapindo Brantas milik Aburizal Bakrie. Semburan lumpur Lapindo pada Mei 2006 lalu telah mengubur wilayah seluas lebih dari 800 hektar di Kecamatan Porong, Tanggulangin, dan Jabon.

Kondisi itu telah menghancurkan kehidupan masyarakat di lebih dari 15 desa, serta 75 ribu lebih jiwa terusir dari kampung halamannya.

"Fakta-fakta ini mau menunjukkan betapa penguasaan atas lahan serta jenis aktivitas di atas lahan-lahan tersebut adalah persoalan serius, telah berdampak buruk bagi rakyat dan ruang hidupnya," tegasnya.

Polemik penguasaan lahan ini, menurut dia, cenderung menjadi komoditas politik semata. Itu menjadi pertanda bahwa Jokowi-Maruf maupun Prabowo-Sandi, termasuk elit politik di lingkaran paslon masing-masing, tidak serius untuk berpihak pada keselamatan dan keberlangsungan hidup rakyat dan lingkungan.

"Sebaliknya, justru sedang menutup jejak buruk masing-masing kubu, sebab salah satu sumber keuangan yang penting adalah dari industri pertambangan," ujarnya.***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA