Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

KPU Dan KPK Lembaga Terpenting Terburuk

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ruslan-tambak-1'>RUSLAN TAMBAK</a>
LAPORAN: RUSLAN TAMBAK
  • Kamis, 14 Maret 2019, 17:26 WIB
KPU Dan KPK Lembaga Terpenting Terburuk
Adhie M Massardi/Net
rmol news logo . Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode sekarang dinilai terburuk dalam sejarah. Padahal dua lembaga negara independen terpenting produk reformasi ini justru sedang memasuki medan paling krusial dan paling menentukan masa depan negara-bangsa.

"Kita bisa melihat secara kasat mata betapa para komisioner KPU dan KPK periode sekarang ini tidak memiliki integritas, sehingga kinerjannya tidak profesional, kurang transparan dan mengabaikan nalar publik," kata Adhie M Massardi, Ketua Umum Perkumpulan Swing Voters (PSV Indonesia) yang juga koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) kepada pers di Jakarta, Kamis (14/3).

Ketidakprofesionalan komisioner KPU sebagai penyelenggara pemilu 2019, jubir presiden era Gus Dur ini memberikan beberapa indikator. Paling mendasar adalah karut-marut DPT (daftar pemilih tetap) dengan temuan belasan juta (lebih dari 15 juta) pemilih ganda yang sampai sekarang tak jelas juntrungannya.

Sosialisasi dan simulasi pemilu yang baru kali ini dilakukan serentak (pileg, pilpres dan DPD), nyaris tak terdengar. Padahal ini pemliu paling kompleks. Sehingga berpotensi menambah jumlah golput, kelompok masyarakat yang tidak bisa ikut pemilu.

Melihat hasil catatan beberapa lembaga survei, seperti Polmark Indonesia (Eep Saefuloh Fatah) akhir 2018, sekitar 86,9 persen masyarakat tidak mendapat penjelasan yang layak mengenai pemilihan anggota legislatif, dan 33,5 persen tidak teredukasi tentang pilpres.

Padahal anggaran yang dikucurkan negara kepada KPU (Rp 24,9 triliun) didasarkan pada jumlah pemilih (192.828.520). Sehingga kalau 30 persen pemilih menjadi golput akibat kinerja KPU yang tidak profesional, maka negara dirugikan sekurang-kurangnya Rp 7,4 triliun.

"Itu jumlah kerugian negara sangat besar, yang harus dipertanggungjawabkan KPU secara moral dan hukum," kata Adhie.

Mengenai KPK, indikator ketidakprofesionalan komisioner KPK, menurut Adhie, yang paling kasat mata ada dua. Pertama, KPK tidak fokus dalam mengawasi agenda utama bangsa ini. Dalam konteks ini, ada dua, yakni pembangunan infrastruktur dan Pemilu serentak 2019.

Sudah menjadi perbincangan publik bahwa pembangunan infrastruktur banyak yang mengabaikan Amdal (analisa dampak lingkungan) yang merupakan syarat utama. Bahkan secara terbuka Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pernah menyampaikan kritik adanya inefisiensi besar dalam pembangunan infrastruktur. Contohnya, menurut JK, pembangunan LRT di atas jalan tol membuat biaya menjadi 10 kali lipat lebih mahal.

"Sampai detik ini, kita belum mendengar KPK punya agenda memantau adanya potensi penyimpangan keuangan negara yang besar, baik dalam pembangunan infrastruktur maupun penyelenggaraan pemilu oleh KPK (dan Bawaslu)," tegas Adhie.

Sedangkan yang kedua, komisioner KPK merongrong kewibawaan lembaga antirasuah itu sendiri secara terbuka. Selain melakukan pembiaran terhadap tokoh-tokoh yang terindikasi korupsi menjadi pendukung petahana, dan kemudian kasusnya seperti tenggalam, juga pembiaran terhadap teror yang dihadapi para penyidik KPK.

Paling dramatis adalah pembiaran penyidik KPK senior Novel Baswedan mencari keadilan sendiri pasca diteror penyiraman air keras pada wajahnya hingga merusak secara permanen salah satu matanya,Selasa subuh (11/4/2017), nyaris dua tahun lalu.

"Kita sekarang menyaksikan dengan getir betapa Novel Baswedan dan para pendukungnya mengais keadilan sendiri, tidak digubris ketika minta Presiden Widodo membentuk TGPF (tim gabungan pencari fakta), sementara atasannya, para komisioner KPK itu, asyik-asyik sendiri dengan agenda pemberantasan korupsi yang tidak jelas," katanya.

Makanya, tokoh pergerakan yang sedang giat mendorong kelompok pemilih (swing voters) untuk menentukan pilihan secara tepat, memiliki agenda pasca Joko Widodo, merevitalisasi secara mendasar dua lembaga penting KPU dan KPK ini.

"Negara demokrasi baru seperti Indonesia yang kekuatan politiknya didominasi parpol yang korup, membutuhkan dua institusi (KPK dan KPU) yang independen, profesional dan berintegritas," pungkas Adhie Massardi. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA