Pasalnya bukan tidak mungkin Joko Widodo selaku presiden akan mengeluarkan maklumat negara dalam keadaan darurat atau
state in emergency bila melihat gelagat kalah di Pilpres dan menunjuk seseorang menjadi pemimpin tertinggi di negara ini, atau penggantinya tanpa melalui proses Pemilu.
"
State in emergency itu merupakan kewenangan presiden. Kalau dia merasa kalah (di Pilpres), bisa dia lakukan. Jadi
people power biasanya dimiliki oleh oposisi, tapi
state in emergency oleh orang yang berkuasa," kata mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai dalam diskusi bertajuk
"Jaga Netralitas: Tentara dan Polisi Jangan Ikut Kompetisi" di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (5/4).
Ditekankannya, dari perspektif hukum dunia,
people power memang dibolehkan. Asalkan dilakukan dengan baik dengan tanpa ada tumpah darah sedikit pun,
people power yang benar juga kata dia harus memberi waktu untuk masa peralihan pemerintahan.
Begitu juga, lanjut Pigai, dengan skenario
state in emergency yang mungkin saja akan ditempuh oleh Jokowi. Sebab, saat ini saja, para pentolan di kubu 01 begitu bersemangat mengeluarkan komentar miring demi memojokkan
people power yang mulanya dipopulerkan oleh Amien Rais itu.
"Ini belum ada apa-apa semua orang bicara tentang
people power semua mengomentari, Moeldoko, Wiranto, termasuk Jokowi sendiri (seolah-olah
people power merupakan hal yang buruk)," imbuhnya.
Untuk itulah, duganya, pihak 01 tengah membangun skenario besar demi meredam
people power. Skenario itu adalah state in emergency. Yang mana dengan itu, Jokowi bisa menunjuk salah seorang untuk menggantikan dia selaku presiden saat negara tengah dalam keadaan genting.
"Apalagi isu khilafah kan naik kan. Ketika opini khilafah naik terus. Ini pesan ke Amerika. Eropa bahwa saya akan keluarkan
state in emergency, tolong dukung saya. Akan terjadi peralihan kepada seseorang," pungkasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.