Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kegagalan Narasi Kampanye Politik

Selasa, 16 April 2019, 09:16 WIB
Kegagalan Narasi Kampanye Politik
Foto: Net
GAGAL! Proyeksi pembangunan narasi konstruktif politik kebangsaan, mengalami kegagalan.

Jelang hari pemilihan, isu yang berkembang dan diperkuat melalui para elit ada pada seputaran tema tentang Khilafah. Hal tersebut menjadi sebuah pilihan narasi yang tentu saja ditujukan untuk mempengaruhi persepsi serta emosi publik menjelang hari pencoblosan.

Ketakutan akan penguatan politik identitas, sebagaimana bentuk ISIS yang terjadi Suriah, dijadikan sebagai sarana untuk membentuk citra bagi pasangan calon tertentu. Restu ulama yang menjadi pondasi legitimasi salah satu pasangan calon, kemudian diindikasi sebagai langkah berlindung organisasi terlarang yang telah resmi dibubarkan, dengan stigma radikal.

Seolah hendak memulai kembali diskusi lama terkait relasi Agama dan Negara. Dinamika keterkaitan antara aspek Agama dan kehidupan bernegara, merentang panjang, menjadi bagian dari perdebatan awal pembangunan rintisan kebangsaaan kita sejak permulaan. Nilai keluhuran Agama, diadopsi dalam pondasi kehidupan berbangsa, melalui ideologi Pancasila.

Bagaimana Dengan Islam?

Posisi pemeluk agama Islam di negeri ini, adalah mayoritas dalam kalkulasi populasi. Bahkan lekat dengan aspek kesejarahan kemerdekaan, meski kemudian dalam kerangka kebangsaan narasi persatuan dan kesatuan diutamakan.

Pada perjalanan selanjutnya, gerbong politik Islam melalui jalur kepartaian tampak tertinggal, bila tidak bisa disebut sebagai ditinggalkan.

Pergerakan pasca kemerdekaan, baik melalui Orde Lama yang mencoba melebur kekuatan politik ditangan kekuasaan, seolah memberikan derajat berbeda bagi kelompok politik Islam, terutama karena perbedaan pandangan pengelolaan negara.

Sementara itu, memasuki Orde Baru, melalui fusi partai dan penerapan azas tunggal Pancasila yang dipaksakan, membuat partai Islam semakin kerdil.

Kanalisasi politik Islam kembali muncul pasca Orde Reformasi. Partai politik yang bernafaskan panduan Islam tampil, meski kemudian dalam kerangka pragmatis harus beradaptasi dengan tendensi publik.

Lantas partai Islam bersifat terbuka, menempatkan simbol Islam sebagai sarana dalam meraup simpati publik, menguatkan melalui jalur kaderisasi, meski membuka diri bagi elemen luar.

Kegairahan untuk melaksanakan implementasi cita-cita dan gagasan Islam, dalam mewujudkan eksistensi sebagai rahmat bagi semesta alam berjalan seiring dengan arus globalisasi Islam.

Hal itu sesuai dengan apa yang dikemukakan Oliver Roy dalam Globalised Islam: the Search for the New Ummah. Kebangkitan Islam, justru seolah menjadi antitesa setelah runtuhnya Menara Kembar WTC 2001.

Kekuatan Islam muncul dalam bentuk jalur formal kenegaraan, terekspresi melalui mekanisme politik dan demokrasi, menampilkan identitas Islam sebagai bentuk pergumulan dan akumulasi interaksi entitas Islam dengan format demokrasi.

Meski begitu, organisasi seperti Al Qaeda juga mampu meluaskan dirinya melalui globalisasi, bentuk re-Islamisasi perlawanan atas westernisasi.

Linier Dengan Radikalisasi?

Pertanyaan terbesarnya, apakah terjadi korelasi positif antara penguatan nilai Islam dalam politik, dengan apa yang kemudian dimaknai sebagai radikalisme? Argumentasi bisa disusun berbeda, tetapi dalam konteks modernitas, politik Islam pun mengalami perubahan komposisi.

Mekanisme formal politik secara legal, dijalankan sebagai bentuk pengakuan atas pilihan format demokrasi yang mengakomodasi politik aliran serta identitas.

Ilustrasi munculnya Al Qaeda dan ISIS, adalah bentuk yang harus diakui terjadi secara berbeda dari arus utama. Puritanisme Agama dengan pemaknaan gerakan fisik perlawanan adalah bentuk ekstremitas yang terdapat di banyak spektrum ideologi dan aliran politik identitas. Sehingga, terorisme yang terasosiasi sekaligus terstigma pada wajah Islam, adalah sebuah kekeliruan.

Perbandingan menarik terkait dengan politik Islam dapat dibaca melalui Vedi R Hadiz dalam Popularisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah. Sesuai dengan basis penelitiannya, dua gerakan yang menjadi role model politik Islam adalah Ikhwanul Muslimin di Mesir dan AKP Turki.
Kajian buku itu menempatkan politik Islam, sesungguhnya adalah bentuk lain dari popularisme Islam, dengan memanfaatkan momentum serta sentiment keterpinggiran populasi Islam.
 
Sejalan dengan itu, terjadi transformasi publik menjadi terkategorisasi tunggal secara homogen yakni ummat. Disisi lain, tidak terdapat alasan yang signifikan, untuk melihat secara berlebihan popularisme Islam, dengan konversi radikalisasi, karena adopsi demokrasi telah dipilih sebagai jalur mencapai kekuasaan.

Temuan telaah akademik, justru menyiratkan popularisme Islam tidak lain adalah bentuk dari oligarki politik yang menggunakan celah identitas ke-Islaman.

Masa Depan Politik Identitas

Sekali lagi, narasi tentang Khilafah dan gerakan radikal adalah cara usang untuk menciptakan ketakutan psikologis. Dengan seluruh kajian di atas, maka politik Islam atau bahkan popularisme Islam adalah elemen dan bagian dalam mewarnai demokrasi.

Pluralisme adalah bentuk pengakuan terhadap entitas berbeda, termasuk pada persoalan identitas ideologis.

Lalu, apakah politik identitas akan hilang? Diluar stereotype Islam yang tampil dalam wajah yang dicitrakan secara keras, maka kejadian Selandia Baru dengan aksi teror Christ Cruch, adalah realitas terbaru dalam melihat radikalisme.

Supremasi kulit putih menjadi dasar penting dari apa yang terjadi pada kasus tersebut. Hal ini semakin menguatkan premis bahwa popularisme dapat dibangun dengan menggunakan berbagai sentiment.

Sesungguhnya politik identitas adalah representasi semua kepentingan politik hari-hari ini, yang menjelma menjadi garis tebal demarkasi, antara kami dan kalian. Setiap kelompok membawa serta simbol-simbol secara tersendiri.
Problem yang harus dicermati adalah kemampuan pengelolaan batas toleransi, ada nilai-nilai sosial, yakni konsensus dalam konstitusi serta moralitas atas nilai spiritualitas.


Maka kemudian kita akan melihat kelompok Muslim, pemeluk Agama Islam yang dominan di negeri ini, dalam partisipasinya di bidang politik dan kenegaraan. Termasuk, berkaitan dengan kegairahan untuk melaksanakan perbaikan kehidupan religiusitas yang bersendikan nafas keagamaan, yakni Islam sebagai tiang pokoknya.

Dengan demikian politik identitas akan selalu tetap ada, dan sekali lagi isu dalam kampanye politik terkait Khilafah adalah tema yang sudah kadaluarsa serta tidak laku lagi.

Terlebih ketika Islam sebagai sebuah Agama memiliki cakupan aspek horizontal antar manusia, bersama dengan muatan kaidah relasi vertikal dengan Sang Khalik, yang mampu diakomodasi pada alam demokrasi! rmol news logo article

Yudhi Hertanto

Program Doktoral Ilmu Komunikasi Univeristas Sahid

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA