Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

APDI Temukan Banyak Kecurangan Pemilu Dibiarkan KPU Daerah Hingga Pusat

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Jumat, 19 April 2019, 17:59 WIB
APDI Temukan Banyak Kecurangan Pemilu Dibiarkan KPU Daerah Hingga Pusat
Foto: APDI
rmol news logo Aliansi Penggerak Demokrasi Indonesia (APDI) tegas meminta pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menginvestigasi berbagai pelanggaran dan kecurangan Pemilu 2019 yang terjadi di berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Ketua Umum APDI, Wa Ode Nur Intan mengingatkan, Pemilu yang bersih akan dihormati dan diterima seluruh rakyat sekaligus disegani dunia. Sebaliknya Pemilu yang penuh dengan kecurangan hanya akan membuat rakyat tidak percaya kepada aparat dan penguasa.

"Sebelum hari pencoblosan, kami bekerja sama dengan berbagai lembaga pemantau internasional mengirimkan banyak relawan pengamat atau observer baik dari dalam maupun luar negeri untuk mengawasi proses jalannya pemungutan dan penghitungan suara saat hari pencoblosan," tuturnya di sekretariat APDI di Kawasan Kuningan Jakarta Selatan, Jumat (19/4). Ikut mendampingi Ketua Bidang Humas APDI, Eman Sulaeman Nasim, Ketua bidang jaringan dan Organisasi Suparlan, dan perwakilan pengamat (obeserver) dari manca negara antara lain Choi Sunhwa dari Korea Selatan, Aira Azhari dan Muhammad Faiz dari lembaga pemantau pemilu IDEAS Malaysia.

Laporan hasil pemantauan APDI bersama relawan dari berbagai daerah terjadi kecurangan dan pelanggaran aturan yang dibiarkan oleh KPU baik pusat maupun daerah.

Nur Intan memaparkan, kecurangan-kecurangan antara lain terjadi pada kertas suara Pemilihan Presiden 2019 yang sudah tercoblos sebelum hari H. Kasus yang paling mencolok, lanjut dia, adalah temuan ratusan bahkan ribuan kertas suara Pilpres dan Pileg yang sudah dicoblos di salah salah satu ruko di Selangor, Malaysia.

Pihak Bawaslu sudah mengadakan penyelidikan dan sudah meminta agar dilakukan pencoblosan ulang.

Kecurangan lainnya adalah pembakaran kotak suara oleh orang tak dikenal di suatu daerah.  

"Harusnya bukan hanya pencoblosan ulang. Dutabesarnya beserta aparatnya sebagai penanggung jawab juga diberikan hukuman yang seberat-beratnya untuk menimbulkan efek jera," tegasnya.

Sanksi tegas ini dinilainya penting sehingga pada Pemilu berikutnya, meski anak dubes yang jadi caleg atau capres, tidak ada lagi yang berani melakukan kecurangan.

"Peristiwa pencoblosan kertas suara Pilpres sebelum waktu pencoblosan itu tidak mungkin terjadi begitu saja. Semuanya pasti dilakukan secara terencana oleh pihak-pihak pertentu yang dekat dengan salah satu paslon,” ujarnya.

APDI dan relawan juga menemukan ketidakkonsistenan pelaksana Pemilu dalam penggunaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (KTP-el) sebagai syarat boleh mencoblos.

"Di berbagai tempat pemungutan suara (TPS) terutama di kawasan apartemen, warga yang datang tanpa menggunakan kertas C5 atau C6, hanya menggunakan E KTP boleh melakukan pencoblosan," urainya.

Sementara di berbagai tempat lainnya, menurut Nur Intan, warga yang datang hanya dengan membawa KTP-el dilarang menggunakan hak suaranya untuk mencoblos.

"Di TPS 004 kelurahan Kedaung, Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan, sebanyak 30 orang dari suatu komunitas dilarang ikut Pemilu hanya karena tidak bawa surat C5. Padahal mereka membawa KTP-el yang masih berlaku," Nur Intan mencontohkan.

Padahal di tempat lain, sambung Nur Intan, warga yang tidak jelas asal-usulnya tidak memiliki surat C5 diperbolehkan ikut pencoblosan.

"Di mana letak keadilannya. Mengapa peraturannya  tidak konsisten," ujar salah seorang anggota APDI asal Pamulang Tangerang Selatan, Siti Khodijah.

Pemantau Pemilu dari Malaysia, Aira Azhari yang melakukan pemantauan Pemilu di Kota Solo bersama pengurus APDI mengaku menemukan banyak kejanggalan yang dilakukan oleh petugas TPS. Salah satunya adalah saat penghitungan jumlah suara yang masuk, pihak KPPS tidak melakukan penjumlahan secara tertulis di kertas C1.

"Kami melakukan pemantauan di Kecamatan Pasar Kliwon Kelurahan Baluarti Kota Surakarta. DI salah satu TPS, jumlah perolehan suara capres 01 dan 02 tidak dijumlahkan. Saat kami tanyakan, petugas TPS-nya mengaku tidak mau berdebat. Malah meminta kami menanyakan hal tersebut kepada KPU," tuturnya.

Setelah kejadian itu, masih kata Aira, saat meninggalkan TPS, ia bersama pengurus APDI merasa dibuntuti oleh dua orang lelaki berkemeja putih.

"Ketika kami foto, mereka memalingkan muka," ulas Aira yang dibenarkan rekan observernya Diana Fathur.

Observer Pemilu asal IDEAS Malaysia lainnya, Faiz yang memantau kegiatan pencoblosan Pemilu 2019 di TPS yang disediakan Lembaga Pemasyarakatan (lapas) Cipinang, Jakarta Timur, menyesalkan jarak antara nara pidana dan petugas Lapas terlalu dekat.

"Hampir tidak ada jarak. Sedangkan pengamanannya pun terlihat longgar," ujarnya.  

Kejanggalan lainnya, kata dia, satu orang napi yang tidak diperbolehkan mengikuti pencoblosan dengan alasan tidak mendapat surat C6. Padahal napi tersebut memiliki KTP-el.

"Selain di TPS yang berlokasi di Lapas Cipinang, Saya juga  melakukan pemantauan antara lain di TPS 169 dan 168 kelurahan Mustika Jaya Bekasi Jawa Barat. Saya merasa aneh mengapa kotak suara saat pencoblosan tidak dikunci. Sementara di TPS lain saya melihat dikunci," ulas Faiz.

Choi Sunhwa yang memantau di TPS Gambir, tempat Jokowi memilih, juga menyayangkan bahan kotak suara terbuat dari kardus. Menurut Choi, bagaimanapun kotak suara dari kertas berjenis kardus tetap rawan. Selain mudah hancur terkena air juga mudah dibongkar.

Eman Sulaeman menegaskan, demi  keberlangsungan demokrasi dan keutuhan NKRI, KPU harus segera memberikan penjelasan yang jujur dan obyektif kepada publik.

"Mengapa di berbagai daerah dan di luar negeri terdapat begitu banyak kertas suara Pemilihan Presiden yang sudah tercoblos sebelumnya," ujarnya.

Mantan Ketua Umum Senat Mahasiswa Universitas Indonesia (SMUI ) ini menilai, Pemilu 2019 adalah Pemilu yang terburuk sejak reformasi 1998 sekaligus paling rumit.

"Selain kecurangan demi kecurangan terus terjadi tanpa ada pemberian sanksi bagi pelaku kecurangan, aparat penegak hukum seakan berpihak kepada mereka yang sedang berkuasa," terangnya.

Nur Intan meminta, Bawaslu dan KPU serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bekerja dengan sebaik-baiknya.

"Periksa semua aparat yang bertugas di Pemilu ini. Mulai dari KPU maupun Bawaslu. Jika terjadi kecurangan, maka siapapun yang melakukan kecurangan segera dijatuhi hukuman," pungkasnya.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA