Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Afiliasi Politik Jadi Alasan Orang Tidak Lagi Percaya Lembaga Survei

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Senin, 22 April 2019, 15:49 WIB
Afiliasi Politik Jadi Alasan Orang Tidak Lagi Percaya Lembaga Survei
Fahri Hamzah/Net
rmol news logo Salah satu penyebab orang tidak percaya objektivitas lembaga survei adalah afiliasi atau posisi lembaga tersebut yang terkadang seperti broker.

Padahal seharusnya, lembaga survei sebagai pollster atau orang yang mengumpulkan pendapat umum. Harus bersifat netral seperti media.

Begitu penegasan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (22/4) menyikapi  netralitas sejumlah lembaga survei dalam Pemilu serentak 2019, khususnya dalam pilpres.
 
"Media dan lembaga survei harusnya bersifat netral, jangan partisan. Beda dengan politisi yang memang nggak mungkin netral. Ini yang kita perlu perbaiki ke depan," kata Fahri.

Oleh karena itu, menurut inisiator Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi) itu, kecurigaan pada quick count/QC pollster pasti ada sebabnya, yang paling sederhana menjelaskannya adalah politik.

Survei dianggap menjadi bagian dari industri politik oleh masyarakat. Di satu sisi harusnya dibiarkan saja demikian.

"Sejauh yang saya mengerti, orang tidak menentang metode sains dalam survei. Tapi yang saya saksikan ditentang orang adalah politiknya. Karena itu, pada awalnya orang juga tidak menentang hasilnya, tapi orang curiga mengapa ilmu sosial ini menjadi ilmu pasti? Menjalarlah keraguan itu," katanya.

Fahri melanjutkan, industri survei sebenarnya sama dengan industri media massa dan bukan bisnis murahan. Sebab semua memerlukan modal dan keahlian. Tapi kedua industri ini harus menghindari monopoli dan oligopoli agar tidak merusak demokrasi.

"Jurnalisme kita sekarang bekerja untuk konglomerasi yang berafiliasi solid dengan politik. Pada musim kampanye mereka bekerja untuk politik, dan hanya sedikit yang sanggup netral. Terutama TV yang ditonton mayoritas rakyat, semua menjadi jurkam. Sebab itulah tragedi industri media sekarang, untung ada socmed (socil media), dan ada YouTube," katanya.

Lanjut Fahri, jika ruang publik frekuensinya dipegang secara partisan, bukan tidak mungkin hak rakyat untuk mendapatkan berita yang berimbang semakin kecil.

Begitu pula nasib opini apabila ilmuan, kaum cendikiawan sebagai kelompok masyarakat minoritas yang tercerahkan, menjadi hilang karena seluruh saluran dikuasai oleh persekongkolan politik, uang, dan media.

"Lalu semua hanya berani menjadi perkakas kepentingan politik. Idealisme terbang entah ke mana. Marilah kita pikirkan kembali sikap ngotot kita dengan bisnis media dan survei ini. Saya mengajak membaca ekosistem yang memungkinkan sikap ilmiah dan independen ada dalam semua metode ilmiah kita. Sebab, survei teman-teman itu bias anti kelompok, juga anti orang tertentu. Parah," tutupnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA