Ia menyebutkan, pembatasan adalah bagian untuk menekan peredaran kabar bohong (hoax) yang menurutnya sudah sangat banyak beredar di Indonesia.
"Satu hoaks saja sudah cukup memicu aksi massa yang berujung penghilangan nyawa, seperti salah satunya yang menima Mohammad Azam di India tahun 2018. Padahal ada banyak hoaks sejenis itu lalu-lalang di Indonesia setiap hari, apalagi sekitar 22 Mei lalu," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (27/5).
Rudiantara menambahkan, pembatasan akses terhadap media sosial merupakan alternatif terakhir dalam situasi genting. Pola seperti itu, menurutnya, juga ditempuh oleh sejumlah negara di dunia.
"Srilanka menutup FB dan WA untuk meredam dampak serangan bom gereja & serangan anti-Muslim yang mengikutinya. Iran menutup FB setelah pengumuman kemenangan Presiden Ahmadinejad. Banyak negara lain melakukan pembatasan & penutupan dengan berbagai alasan," imbuhnya.
Lebih lanjut, Mantan Wakil Direktur Utama PT PLN ini menjelaskan, pihaknya juga telah menutup ribuan alamat situs di sejumlah platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, dan lain-lain.
Tak hanya itu, Kominfo sebutnya juga bekerja sama dengan penyedia platform untuk menekan peredaran hoax.
"Misalnya, saya telah berkomunikasi dengan pimpinan WA yang hanya dalam seminggu sebelum kerusuhan 22 Mei lalu telah menutup sekitar 61.000 akun aplikasi WA yang melanggar hukum," tandasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Rudiantara juga mengimbau masyarakat untuk berhenti menyebarkan konten yang mengandung hoax, fitnah maupun provokasi untuk melanggar hukum.
"Tentu saja harus kita mulai dari diri sendiri," pungkasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: