Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Aktivis 98 Jadi Menteri, Ada Habib Juga Rachland

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/yelas-kaparino-1'>YELAS KAPARINO</a>
LAPORAN: YELAS KAPARINO
  • Kamis, 04 Juli 2019, 00:58 WIB
Aktivis 98 Jadi Menteri, Ada Habib Juga Rachland
Ilustrasi/Net
rmol news logo Jika parpol-parpol yang tergabung dalam Koalisi Adil dan Makmur masuk ke dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf, ada beberapa nama politisi oposisi dari kalangan aktivis 98 yang patut diperhitungkan untuk duduk dalam jajaran manajemen pemerintahan tertinggi di negeri ini.

Sebut saja, misalnya, Habiburrokhman, anggota Dewan Pembina Partai Gerindra yang berhasil lolos menjadi anggota DPR RI pada Pileg 2019 dari Dapil DKI Jakarta 1.
 
Alumni Universitas Lampung ini pernah memimpin Serikat Pengacara Rakyat (SPR) yang belakangan berubah jadi Serikat Advokat Indonesia (SAI), mendirikan ACTA (Advokat Cinta Tanah Air), dan perannya menonjol sebagai anggota tim Advokasi BPN Prabowo-Sandi.
 
“Si burung pelatuk”, begitu ia diberi gelar oleh rekan-rekannya, sudah malang melintang dalam kegiatan advokasi rakyat korban pembangunan sejak semasa jadi mahasiswa. Habib familiar dengan isu-isu kerakyatan seperti perburuhan atau pertanahan. Dia, segelintir dari pengacara yang berhasil memenangkan banyak gugatan class action.

Akan sangat menarik jika Habib diplot menjadi Menteria Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sehingga visi nawacita terkait dengan reforma agraria dan program sertifikat untuk rakyat dapat “dipertajam”.

Selain Habib, nama FX Arif Poyuono alias Po Yu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Salah satu sosok yang layak dinominasikan untuk duduk dalam jajaran kabinet Jokowi-Ma’ruf.
 
Po Yu merupakan politisi Gerindra yang paling getol menyuarakan kemungkinan Gerindra masuk dalam koalisi Jokowi-Ma’ruf. Ia juga mengaku sebagai orang yang bermanuver untuk menggeser nama Agus Yudhoyono dari daftar Cawapres Prabowo Subianto. Padahal, pada saat menjelang pendaftaran pasangan Capres-Cawapres lalu, elektabilitas Sandiaga Uno (kandidat yang dijagokan Po Yu), berada di bawah Agus Yudhoyono.
 
Munculnya pasangan PS-SU yang dianggap oleh sebagian pengamat sebagai ‘anugerah’ yang melempangkan jalan kemenangan Jokowi-Ma’ruf itu, tentu tak bisa dilepaskan dari kengototan Po Yu untuk menolak AHY. Dengan kata lain, kubu Jokowi-Ma’ruf secara tidak langsung juga ‘berhutang budi’ pada Po Yu.

Lelaki yang besar di kawasan kampung kumuh Tanjung Priok itu dikenal memiliki hubungan yang dekat bukan hanya dengan Prabowo tetapi juga dengan Hasyim Djojohadikusumo. Di sisi lain, ia juga memiliki kemampuan berkomunikasi ala Jokowi. Jika ia diangkat jadi menteri, chemistry-nya akan mudah ‘nyambung’ dengan Presiden.

Walau bukan aktivis mahasiswa 98, Po Yu dianggap dekat dengan kalangan aktivis. Ia bekerja sebagai buruh Merpati Nusantara Airlines saat peristiwa 98 itu meletus. Tokoh yang kemudian memimpin Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu itu pas untuk dipertimbangkan menjadi Menteri Tenaga Kerja.

Apalagi sejak jaman reformasi, belum pernah ada Menteri Tenaga Kerja yang merupakan aktvis buruh, apalagi mengalawi karirnya sebagai buruh kerah biru di BUMN.

Selain Gerindra, PAN juga memiliki sosok aktivis 98 yang dapat didorong mengisi jabatan menteri. Hanafi Rais, putra sulung mantan Ketua MPR RI Amien Rais, adalah pelajar SMA Muhammadiyah I Yogyakarta saat peristiwa 98 meletus.

Hanafi bergabung dengan-rekan pelajarnya yang membentuk komite bernama GAPCI (Gabungan Pelajar Cinta Indonesia) di Yogyakarta. GAPCI adalah ‘adik-adik binaan’ dari mahasiswa yang tergabung dalam KPRP (Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan), sebuah wadah gerakan yang paling radikal di kota gudeg kala itu.
 
Hanafi lulus sarjana dari Jurusan Hubungan Internasional UGM dan program Master Kebijakan Publik NUS Singapura. Ia pernah menjadi dosen, anggota Komisi I DPR, dan sekretaris BPN Prabowo-Sandi.
 
Pengetahuannya dalam diplomasi internasional menambah bobot kualifikasi Hanafi apabila ia dinominasikan untuk memimpin kementerian atau badan dengan size sedang atau kecil, seperti Wakil Menteri Luar Negeri atau Kementerian Pariwisata.

Masuknya Hanafi ke dalam kabinet Jokowi-Maruf bisa saja memperlunak sikap kritis Amien Rais terhadap pemerintahan Jokowi. Disamping mengakomodasi kalangan Muhamadiyah yang selama ini dianggap under-represented pada kabinet Jokowi jiid satu.

Partai Demokrat (PD) punya deretan aktivis 80an, 90an maupun 98 dengan jumlah bejibun. Namun, narasi utama yang muncul di media massa menyebutkan bahwa jagoan utama PD untuk dinominasikan sebagai menteri adalah Ketua Kogasma, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
 
Meski demikian, andaikata PD beroleh jatah lebih dari satu pos di kabinet, dengan catatan bahwa di luar pos yang diduduki AHY, adalah ‘jatah’ di badan dengan size yang kecil, maka bolehlah PD menjagokan Andi Arief sebagai kepala BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).

Andi Arief semasa menjadi Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana era SBY-Boediono merupakan figur yang berhasil melakukan mainstreaming (pengarusutamaan) isu mitigasi bencana dan mendorong riset-riset kebencanaan.
 
Celotehan Andi mengenai peta mikro zonasi bencana di Jakarta ‘memaksa’ Gubernur Fauzi Bowo yang sebelumnya enggan membentuk BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) ‘merevisi’ kebijakannya.
 
Gebrakan mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) dan SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) itu juga berhasil mengubah mindset publik dan pembuat kebijakan bahwa Indonesia harus menambah porsi perhatian pada isu pra bencana, ketimbang berkutat pada isu-isu pasca bencana yang selama ini menjadi mandat BNPB.

Selain Andi, Wasekjen PD Rachland Nashidik sangat pantas dinominasikan sebagai Menteri Hukum dan HAM. Sahabat dekat mendiang Munir itu adalah eks aktivis PBHI (Perhimpunan dan Bantuan Hukum Indonesia) dan Imparsial.
 
Ia terlibat dalam Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk kerusuhan 1998 dan juga kasus pembunuhan Munir.

Presiden Jokowi beberapa kali menyatakan bahwa lima tahun ke depan, ia tak memiliki beban (untuk menyelesaikan berbagai persoalan termasuk HAM). Karena itu, Presiden perlu pembantu yang cakap, yang mampu membantunya menyelesaikan persoalan-persoalan HAM masa lalu, sebagaimana dijanjikan sejak Pilpres 2014.
 
Aktivis 98 lain di kubu oposisi yang sangat layak ‘dibidik’ sebagai calon menteri adalah Fahri Hamzah. Mantan Wakil Sekjen PKS yang membidani lahirnya embrio partai baru bernama Garbi (Gabungan Arah Baru Indonesia) itu  memang sudah keluar dari PKS. Tetapi, ia tetap menjadi ikon aktivis yang dilahirkan oleh gerakan tarbiyah di Indonesia yang membidani lahirnya PKS.

Fahri mendirikan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), salah satu organisasi kemahasiswaan yang paling berhasil melakukan pengorganisasian mahasiswa pasca 98. Putra NTB itu memiliki span pengetahuan yang luas.
 
Sebagai Alumni FE Universitas Indonesia yang menguasai soal-soal ekonomi makro, ia justru mengukir ketokohannya di parlemen sebagai ‘vokalis’ Komisi III. Dengan kualitas kepemimpinan yang unggul dan pengalamannya sebagai Wakil Ketua DPR, Fahri layak dinominasikan menjadi Menteri Pertahanan.

Di luar aktivis-aktivis 98 yang menjadi kader parpol, banyak pula aktivis-aktivis non-parpol yang layak dinominasikan sebagai Menteri di kabinet mendatang.

Ada dua aktivis 98 non-parpol yang layak dipantau oleh tim yang dibentuk Jokowi untuk menyeleksi calon menteri. Keduanya mewakili daerah yang dinilai paling sering bergolak dalam dua dekade terakhir: Aceh dan Papua.
 
Aktivis 98 wakil Aceh yang patut dipertimbangkan menjadi calon menteri oleh Jokowi-Ma’ruf adalah Nezar Patria yang berlatarbelakang jurnalis profesional.

Mantan Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), anggota Dewan Pers, dan saat ini menjadi pemimpin redaksi sebuah koran berbahasa Inggris itu adalah aktivis SMID di jaman mahasiswa dan salah satu pentolan pers mahasiswa di UGM.
 
Nezar yang meraih pendidikan pascasarjana di London School of Economics (LSE) adalah ahli dalam sejarah diplomasi Aceh dan memiliki hubungan yang dekat dengan faksi-faksi politik lokal di Aceh.

Dengan kualifikasi yang beragam itu (dari soal pers, diplomasi, hingga soal Aceh) Nezar pas untuk dinominasikan di berbagai pos: Menteri Komunikasi dan Informatika, Wakil Menteri Luar Negeri, Kementerian Kebudayaan, atau Kepala Staf Presiden.

Aktivis 98 asal Papua yang paling pas dinominasikan untuk masuk jajaran kabinet Jokowi-Ma’ruf adalah Velix Wanggai, salah satu pejabat eselon satu di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan mantan Staf Khusus Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah di jaman SBY.

Velix Wanggai merupakan aktivis Dewan Mahasiswa (Dema) UGM di tahun 90-an, dimana organisasi itu didirikan untuk menjadi alternatif setelah Senat Mahasiswa yang dibentuk oleh pemerintah Orde Baru menjadi organisasi korporatis yang justru menjadi alat birokrasi kampus.

Velix memperoleh gelar master dari Flinders University, Australia dan S3 dari FISIP UNPAD. Ia menjadi anggota tim termuda yang ikut menyusun RUU Otsus Papua di era SBY.

Kiprahnya dalam ‘membawa’ isu pembangunan Papua di pusat seolah menjadi kelanjutan dari peran yang dijalankan bapaknya (Sofian Wanggai); salah satu tokoh lokal yang menjadi rekan dialog Gus Dur dalam menata Papua pasca reformasi, semasa beliau menjadi Presiden RI. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA