Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Di Tangan Pansel Memungkinkan KPK Jadi ‘Asik-Asik Aja’

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/yelas-kaparino-1'>YELAS KAPARINO</a>
LAPORAN: YELAS KAPARINO
  • Rabu, 10 Juli 2019, 17:34 WIB
Di Tangan Pansel Memungkinkan KPK Jadi ‘Asik-Asik Aja’
Komisi Pemberantasan Korupsi/Net
rmol news logo Masa jabatan Pimpinan KPK periode Agus Raharjo cs akan segera berakhir. Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan (Capim) KPK telah bekerja. Pansel akan menjaring 10 orang dari 384 pendaftar calon-calon pimpinan lembaga anti rasuah itu untuk diusulkan ke DPR.
 
Di ruang publik, kepolisian telah mengutus anggota terbaiknya. Ada pula para purnawirawan kepolisian yang turut mendaftar menjadi Capim KPK.

Secara jumlah, memang anggota Polri lebih banyak mendaftar, bila dibandingkan dengan satuan aparat penegak hukum lainnya, jaksa dan hakim.

Bila anggota polisi, jaksa, dan hakim turut mendaftar untuk jadi Pimpinan KPK, memang sejalan dengan nafas penegakkan hukum yang dilakukan oleh komisi anti rasuah ini. Namun, alangkah baiknya anggota-anggota terbaik tiga institusi penegak hukum itu, lebih diberdayakan untuk memaksimal fungsi dan tugas pemberantasan korupsi melalui institusi asal mereka. Tidak perlu melalui KPK.

Kesigapan mereka menyongsong suksesi pimpinan KPK, bisa dikatakan jauh di atas kelompok-kelompok masyarakat pegiat antikorupsi. Mengapa?

Apakah karena berbagai gesekan kepentingan yang keras antara KPK dengan lembaga penegak hukum lainnya?
 
Di masa lalu, pernah muncul perseteruan yang oleh media dilabeli sebagai kasus cicak vs buaya, isu rekening gendut yang dikaitkan dengan isu kriminalisasi pimpinan KPK, juga isu ‘buku merah’ yang tercabik.
 
Pada periode ini, KPK mengalami berbagai dinamika yang dinilai mengancam ketahanan internal lembaga. Sebut saja kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK, teror ke rumah pimpinan KPK, kasus etika yang melibatkan Deputi Penindakan, penyebaran opini publik yang masif bahwa KPK dikuasai kelompok “celana cingkrang” dan lain sebagainya.

Dengan latar belakang fakta dan isu seperti itu, patut dipahami mengapa moment pergantian kepemimpinan KPK kali ini, menjadi sesuatu yang sangat penting. Bisa menjadi ajang dan peluang memperjuangkan aspirasi kepentingan elit-elit tertentu. Bukan itu saja, ditengarai banyak kepentingan lain yang turut berjuang untuk memengaruhi agar KPK tampil  ‘lebih kalem’ dan tidak jor-joran dalam melakukan penindakan kasus-kasus korupsi.
 
Pencegahan

Memang, fakta menunjukkan, selama ini bukan hanya elit-elit parpol yang dijerat KPK dengan kasus-kasus korupsi. Ada hakim, ada jaksa,  ada polisi. Mereka terseret prilaku korup pebisnis atau para taipan tertentu.
 
Situasi yang demikian, sangat mungkin menjadikan mereka memiliki aspirasi serupa, untuk menjinakkan KPK. Bahkan, lebih jauh dari itu, berbagai dugaan kasus yang melibatkan lingkar dalam kekuasaan negeri ini, juga perlu diantisipasi agar tidak menjadi batu sandungan di kemudian hari. KPK perlu “dimoderatkan”. Lebih fokus pada pencegahan.

Dalam konteks pencegahan, Wakil Presiden Jusuf Kalla setidaknya sudah mengingatkan soal arti pentingnya.

Pada Kamis (4/7) JK mengatakan, selain penindakan korupsi, agar pimpinan KPK yang terpilih fokus di bidang pencegahan. Upaya itu penting untuk menekan angka korupsi di Indonesia.
 
"Oh ya pencegahan, tentu harus bisa," ujar Wakil Presiden.
 
JK juga menekankan, calon pimpinan KPK yang terpilih harus memiliki keberanian dan pengetahuan hukum yang mumpuni dan tak sembarang menangkap seseorang.

"Tentu tokoh yang bersih dan punya keberanian, pengetahuan tentang hukum, tentang masalah tata negara. Jangan orang asal ambil tangkap, tentu juga harus dilihat efek-efeknya," jelas JK.

Di sisi lain, belum lepas dari ingatan publik, kekritisan anggota-anggota Komisi III DPR yang lintas parpol terhadap KPK, bisa saja bertaut dengan para mitra mereka dalam rangka menyalurkan aspirasi “moderasi” KPK.
 
Bila ini yang terjadi, dapat dipahami sebagai strategi bersama kelompok-kelompok tertentu untuk mengamankan masa depan dari potensi kasus hukum dan citra negatif yang mengikutinya.

Penyusunan Pansel KPK yang lebih banyak melibatkan nama-nama yang dinilai dekat dengan kekuasaan, ditengarai pula sebagai langkah awal untuk memunculkan calon-calon yang dianggap sesuai dengan aspirasi “memoderasi” KPK. Memuluskan langkah dari calon-calon pimpinan KPK yang dianggap “asyik-asyik aja”.

Angin dari parlemen mulai bertiup. Mempertanyakan kinerja Pansel Capim KPK. Pansel tidak sekalipun berkonsultasi ke Parlemen, khususnya Komisi III.

"Pertanyaan saya, kenapa tidak mendatangi Komisi III yang menjadi mitra dari lembaga tersebut (KPK)?" ujar Ketua DPR Bambang Soesatyo, Rabu (10/7).

Bamsoet menyayangkan langkah pansel yang hanya berkunjung ke Polri, Kejaksaan Agung dan KPK.

Ditegaskan Bamsoet, pansel jangan lupa bahwa KPK bermitra dengan DPR yakni Komisi III, yang tentu lebih paham apa yang mitranya butuhkan.

Pun soal seleksi, katanya, setelah pansel menyeleksi 10 nama untuk diajukan akhirnya akan bermuara di Komisi III juga.

"Pada akhirnya 10 nama itu kan akan ke Komisi III dan dipilih menjadi 5," demikian Bambang Soesatyo.

Nah, DPR akan menjadi kunci ‘pengesahan’ Pimpinan KPK. Sehingga tanpa kata sepakat dari parlemen, setidaknya akan ‘ramai’ dan tidak bisa memuluskan pimpinan KPK yang ‘asik-asik aja’.

Sehingga, patut diduga, bila ke depan pimpinan KPK yang terpilih ‘asik’asik aja’, faksi-faksi yang memiliki kepentingan tertentu akan bersepakat. Setidaknya tiga dari lima pimpinan yang lolos, di isi oleh figur-figur yang berasal dari polisi, jaksa, dan hakim. Dua lainnya akan diselipkan dari wakil publik, tetapi bukan berasal dari kalangan yang “ceriwis”.

Semuanya harus “asyik-asyik saja”. Sehingga penindakan kasus-kasus korupsi tidak terlalu demonstratif. Apalagi mengguncang hirarki kekuasaan politik dan ekonomi, seperti yang dilakukan KPK sebelumnya. Fokus pencegahan akan lebih dikedepankan.

Penindakan-penindakan tanpa pandang bulu yang diwariskan KPK periode-periode lalu, bisa dikemas dalam jargon “membahayakan kepentingan investasi dan bisnis”. Sudah tidak jamannya lagi dipraktikkan KPK mendatang.

Meski demikian, niatan untuk “memoderasi KPK” akan tetap mendapatkan tantangan, khususnya dalam konteks pembentukan opini publik. Walau belakangan berkembang anggapan, kelompok penggiat antikorupsi akhir-akhir ini tidak terlalu banyak ceriwis karena adanya akomodasi terhadap senior-senior  mereka di lingkar kekuasaan.
 
Nah, manuver mendorong pembentukan lembaga pengawas KPK, terkesan paralel dengan langkah untuk ‘memoderasi’ KPK. Agar potensi “liar” dalam penindakan kasus korupsi terkendali.
 
Gejala ‘memoderasi’ KPK bisa jadi yang membuat kalangan masyarakat dan kalangan internal KPK, belakangan aktif tampil di media massa. Mereka menyuarakan hal-hal yang dianggap sebagai ancaman terhadap masa depan lembaga, sekaligus terhadap masa depan penindakan korupsi di Indonesia? Entahlah. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA