Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pengamat: Pemerintah Indonesia Harus Segera Merancang RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB)

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Selasa, 06 Agustus 2019, 09:49 WIB
Pengamat: Pemerintah Indonesia Harus Segera Merancang RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB)
Pengamat Militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi/Net
rmol news logo Pemerintah Indonesia, sejak pascareformasi, dinilai gagal dalam merumuskan keadaan bahaya. Karena itu, perancangan Undang-undang terkait keadaan bahaya sudah mendesak untuk dibuat pemerintah.

Indonesia sebenarnya telah memiliki Perppu 23/1959 yang mengatur tentang keadaan bahaya. Sayangnya sudah kurang update dengan kondisi saat ini.
Pengamat Militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan, Perppu 23/1959 ini mengatur tentang keadaan bahaya ataupun keadaan darurat yang terdiri dari keadaan darurat sipil dan darurat militer.

"Iya artinya mengancam keadaan, kalau di UU kita disebut sebagai keadaan bahaya. Kalau di Undang-undang tentang SOP, itu ada yang namanya keadaan darurat. Kan ada di situ disebutkan darurat sipil, darurat militer," ucap Khairul Fahmi kepada Kantor Berita RMOL, Selasa (6/8).

Namun, Perppu tersebut dinilai sudah sangat usang karena berusia 60 tahun. Sehingga, kata Khairul, perlu dilakukan pembaruan yang disesuaikan dengan zaman saat ini.

"Itu kan Undang-Undang yang usianya sudah 60 tahun, kondisinya bisa jadi sudah sangat berbeda hari ini. Dalam kondisi sekarang kita memang perlu mendiskusikan lagi adanya undang-undang yang mengatur soal bahaya ini, tapi tentu saja tidak boleh kemudian ditumpangi dengan hal-hal yang tidak sejalan dengan arah Reformasi," paparnya.

Dengan demikian, kejadian mati listrik serentak yang terjadi pada Minggu (4/5) kemarin harus menjadi pelajaran untuk pemerintah dan rakyat Indonesia tentang bahaya ancaman terhadap keamanan negara.

"Tapi yang jelas memang situasi seperti kemarin itu jelas menunjukkan bahwa kita masih kurang aware, kurang peka, kurang tanggap, kurang peduli terhadap kemungkinan keadaan bahaya. Ya pemerintah dan kita semua, tidak dalam kondisi siap dalam menghadapi situasi-situasi terburuk," imbuhnya.

"Ya itu perlu selain kita mengambil pelajaran soal kewaspadaan kita, soal kepedulian kita terhadap situasi bahaya itu. Tentu saja itu perlu juga diberi payung regulasi supaya bukan sekadar imbauan, bukan sekedar nasihat. Tapi ini sesuatu yang sifatnya bisa mengatur seluruh warga dan bisa memberikan kepastian jaminan keamanan kepada seluruh warga negara ketika berada dalam situasi seperti itu tentu harus ada payung regulasinya," tambahnya.

Artinya, kata Khairul, pemerintah saat ini harus segera merumuskan kembali makna kondisi bahaya maupun kondisi darurat dengan cara melakukan RUU PKB.

"Mungkin bisa dipertimbangkan, merumuskan kembali aturan-aturan soal keadaan bahaya, aturan mengenai keadaan bahaya. Karena kita punya Undang-undang yang mengatur keadaan bahaya itu sudah sangat usang usianya sudah 60 tahun. Perlu diperbarui, disesuaikan dengan konteks zamannya, disesuaikan dengan arah Reformasi kita," lanjut dia.

Menurut Khairul, pascareformasi sempat ada rencana pemerintah melakukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanggungan Keadaan Bahaya (PKB). Namun, RUU PKB tersebut ditolak masyarakat pada saat itu karena dianggap telah keluar dari tujuan Reformasi.

"Tapi memang, kita sempat diskusi beberapa tahun lalu. Awal Reformasi pemerintah sempat menyusun RUU penanggulangan keadaan bahaya, RUU PKB namanya. Sempat digulirkan pemerintah, tapi kemudian ada penolakan yang luar biasa dari masyarakat. Karena muatannya dianggap cukup sensitif dan tidak sejalan dengan arah Reformasi. Sehingga mengalami penolakan dan tidak dilanjutkan," pungkasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA