Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Adhie Massardi: Wacana Hidupkan GBHN Keblinger!

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ruslan-tambak-1'>RUSLAN TAMBAK</a>
LAPORAN: RUSLAN TAMBAK
  • Kamis, 15 Agustus 2019, 18:10 WIB
Adhie Massardi: Wacana Hidupkan GBHN Keblinger<i>!</i>
Sekretaris Jenderal Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) Adhie M. Massardi/Net
rmol news logo Ketika segenap rakyat sedang merayakan HUT proklamasi kemerdekaan, tapi juga mencemaskan masa depan eksistensi Republik Indonesia sebagai negara-bangsa yang sudah berusia 74 tahun, kalangan elite politik di pusat kekuasaan justru sibuk memutar haluan untuk dijadikan pedoman guna kembali ke masa lalu.
 
Ada kelompok elite yang sibuk ingin kembalikan konstitusi ke UUD sebagaimana aslinya saat dibuat pada 1945. Sedangkan elite politik yang lain, dimotori oleh pentolan PDIP dalam kongres ini di Bali, berniat menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
 
Sekretaris Jenderal Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) Adhie M. Massardi menyesalkan sekaligus mencemaskan "gerakan kembali ke masa lalu" ini kian menguat justru di kalangan elite politik nasional produk Pemilu 2019.

"Bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki semua unsur untuk jadi negara maju. Persoalan besarnya, bangsa ini belum pernah memiliki pemimpin atau lapisan elite dengan visi jauh ke depan, yang transformatif," ungkap Jurubicara Presiden keempat RI KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) ini, Kamis (15/8).
 
Pemimpin transformatif itu, Adhie memberi contoh, Deng Xiaoping yang membangun fondasi Tiongkok sebagai negara modern. Deng tidak mendesain Tiongkok untuk kembali seperti zaman Dinasti Qin, Ming atau Dinasti Qing. Deng mentransformasikan pikirannya tentang negara modern kepada rakyatnya, sehingga menjadi mudah bagi penerusnya seperti Zhu Rongji, Ziang Zemin, Hu Jintao, dan kini Xi Jinping.
 
Di Asia Tenggara, ada Mahathir Mohamad yang mendesain Malaysia sebagai modern, dan Lee Kuan-yew (1959-1990) yang membuat negara paling kecil di ASEAN itu menjadi pelopor dalam modernisasi administrasi pengelolaan negara.

Dalam pandangan Adhie, kelompok elite bangsa ini sungguh menyedihkan, karena tidak memiliki wawasan ke depan, sehingga cenderung menjadikan masa lalu sebagai orientasi nasional, sebagai tujuan berbangsa dan bernegara. Makanya, tak heran bila tujuannya ingin menjadikan Indonesia seperti negara Sriwijaya (abad ke-7), atau Majapahit (abad ke-14).
 
Adhie meminta dalam rangka peringatan proklamasi kemerdekaan ke-74 RI, sekaligus untuk menyiapkan tata kelola negara pasca Pemilu 2019, partai-partai politik, karena memiliki kader di eksekutif, legislatif dan judikatif, serta di lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, untuk menyiapkan perangkat lunak dan perangkat guna bangsa ini memasuki abad digital yang sangat kompleks dan dinamis.

"Bagaimana mungkin rakyat bisa melakukan manuver canggih secara digital bila dalam tata kelola energi (listrik) saja pemerintah masih bermasalah," ungkapnya.

Jelas dia, tinggalkan impian membuat GBHN seperti di masa lalu. Dulu GBHN dirancang pemerintahan Soeharto oleh para teknokrat andal, lalu disahkan oleh MPR. Dipakai pedoman oleh pemerintah orde baru karena itu memang mereka yang rancang.

"Sekarang siapa yang mau bikin rancangan GBHN bila rekrutmen SDM di pemerintahan tidak memakai acuan yang benar? Sementara para anggota DPR dan DPD tidak memenuhi kualifakasi sebagai pembuat rancang-bangun eksekutif dan legislatif era digital," ujar Adhie.
 
Apalagi, menurut para penggagas kembali ke masa lalu itu, lanjut Adhie, GBHN yang nanti mau dihidupkan kembali, tidak harus diikuti oleh pemerintah, dan tidak ada sanksi politik bila GBHN tidak dijalankan.

"Lalu buat apa?" sebut dia.
 
Sebetulnya, lanjut Adhie, dalam konstitusi sudah ada acuan bagi semua lembaga negara. Tepatnya pada alinea keempat Pembukaan UUD 45 yang menjelaskan tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indoneisa: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
 
Apabila sejak reformasi kepemimpinan nasional dirasakan kurang optimal, bahkan cenderung tidak paham soal, bukan membawa kembali bangsa ini ke masa lalu. Tapi partai-partai politik itu sendiri yang harus lakukan introspeksi atau refleksi, lebih tepat lagi, otokritik.

Ditambahkannya, semua parpol harus lakukan introspeksi atau refleksi, lebih tepat lagi otokritik terhadap persyaratan, kriteria dan kualifikasi bagi calon anggota legislatif dan pimpinan eksekutif di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan lebih-lebih pimpinan nasional.
 
"Jadi persoalan bangsa ini bukan terletak pada GBHN atau konstitusi, tapi pada mekanisme rekrutmen para elite penyelenggara negara oleh partai politik sendiri," demikian Adhie Massardi. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA