GBHN yang akan mengembalikan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara dapat membahayakan kelangsungan sistem demokrasi di Indonesia pascareformasi.
"Apa yang disampaikan oleh Pak Jokowi (soal GBHN) sudah sangat tepat. Sebab, Amandemen yang mengembalikan lagi MPR sebagai lembaga tertinggi negara ini bisa memberikan angin segar bagi kelompok-kelompok parpol dan politisi konservatif dengan alam pikir Orba, agar Presiden dan Wapres (kembali) dipilih oleh MPR," kata Director for Presidential Studies-DECODE UGM, Nyarwi Ahmad kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (16/8).
Menurut Nyarwi, GBHN akan membatasi ruang gerak presiden dalam merespons perkembangan ekonomi dan politik global yang saat ini sangat cepat berubah.
"Selain itu, adanya GBHN juga bisa membatasi kreativitas dan inovasi Pak Jokowi sebagai Presiden. Dengan menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, posisi presiden sebagai Kepala Negara akan semakin tersubordinasi dan bahkan bisa tersandera oleh sekelompok elit yang mempimpin lembaga tersebut," jelasnya.
Diketahui, rencana menghidupkan kembali GBHN yang dibungkus dalam Amandemen UUD 195 kembali mencuat setelah beberapa elit partai politik menyampaikannya kepada publik.
Rencana tersebut mendapat reaksi keras dari berbagai aktivis maupun elemen masyarakat. Namun, tak sedikit pula yang mendukung rencana menghidupkan kembali GBHN karena menilai sistem politik di Indonesia sudah semakin tak terarah.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: