Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Golkar Tak Cocok Dipimpin ‘Brangasan’, Airlangga Paling Pas

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/yelas-kaparino-1'>YELAS KAPARINO</a>
LAPORAN: YELAS KAPARINO
  • Selasa, 27 Agustus 2019, 11:58 WIB
Golkar Tak Cocok Dipimpin ‘Brangasan’, Airlangga Paling Pas
Ilustrasi/Net
rmol news logo Tak bisa dipungkiri, Partai Golkar lekat dengan citra sebagai partai priyayi.

Priyayi yang dimaksud bukanlah sebuah kelas sosial tertentu dalam masyarakat. Tetapi, priyayi dalam pengertian budaya yang mengunggulkan budi pekerti yang baik, sikap ‘gentle’, dan olah bahasa yang terpelajar.

Karena itu, sudah sewajarnya jika Golkar dipimpin oleh tokoh yang memiliki pemahaman budaya sangat baik, karena itu terkait dengan gaya komunikasi yang dikembangkannya saat memimpin partai tersebut.

Tindak tanduk dan ucapan yang keluar dari mulut seorang ikon Golkar mestilah ‘mriyayi’: bernuansa lembut, disampaikan dengan bahasa yang elok, serta mencerminkan wawasan keilmuan yang luas.

Pandangan itu diungkapkan Fajar Sodik, praktisi komunikasi budaya dari Sorong, Papua Barat, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (27/8).

Dengan menggunakan perspektif budaya itu, Sodik menilai bahwa Airlangga Hartarto adalah tokoh yang paling pas untuk dipilih kembali memimpin Golkar pada Munas mendatang. Politisi berdarah campuran Jawa-Sunda itu dianggap memiliki pemahaman budaya yang paripurna, berwawasan luas, dan gaya bicara santun serta tidak meluap-luap.

Fajar Sodik menyebut dari stok politisi yang berkontentasi untuk meraih kursi kepemimpinan di Golkar, ada yang cara berbicaranya cenderung 'brangasan' dan wacananya 'cetek'. Malah kalau dilacak jejak digitalnya, lebih miris lagi.

"Ada yang hobi melontarkan kosa kata tidak 'mriyayi' dalam adu pendapat, misalnya bilang "jangan mimpi basah dulu" dan lain sebagainya. Masak Golkar rela dipimpin orang yang budi bahasanya demikian?," ujarnya.

Mantan wartawan senior Jawa Pos Group dan alumni Universitas Muhammadiyah Solo itu menampik jika budaya priyayi yang ia jelaskan dianggap terlalu bias Jawa.

Kehalusan dalam berkomunikasi dan bertindak-tanduk, kata Sodik, keliru jika dituduh sebagai cermin feodalisme. Sebab, faktanya, kehalusan bahasa dan budi pekerti merupakan karakter yang dipuji oleh kebudayaan suku manapun di Indonesia.

Dalam sejarah Golkar, kader yang terpilih sebagai Ketua Umum selalu memiliki wawasan budaya yang baik dan memiliki karakter ‘mriyayi’ di dalam dirinya. Tak peduli dari manapun kader itu berasal.

"Bang Akbar itu contoh nyata. Orang Batak tulen, tapi sangat ‘mriyayi’. Santun, intelektual, gentle," lanjutnya.

Lebih jauh, Sodik menyayangkan jika ada kader Golkar yang ingin partai itu dipimpin tokoh 'brangasan'. Jika kepemimpinan partai beringin jatuh ke tangan tokoh yang buruk budi bahasanya atawa kurang 'mriyayi', dia khawatir reputasi Golkar sebagai partainya kaum terdidik akan jatuh ke jurang terdalam.

Sodik menambahkan, harus disadari bahwa sejak jaman Orde baru, Golkar itu punya citra sebagai partainya orang terpelajar. Di desa-desa atau kampung-kampung, pegiat-pegiat Golkar itu dianggap orang-orang pintar.

"Kelas yang sudah sedemikian tinggi seharusnya dipertahankan. Kenapa ambil risiko dengan memilih pemimpin 'brangasan'?,” tandas dia. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA