DPR sendiri keukeuh melakukan revisi karena ada beberapa substansi yang perlu diubah, salah satunya soal penyadapan, pembentukan Dewan Pengawas KPK, aturan pegawai dan soal penerbitan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara).
Pengamat hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Muhtar Said menegaskan, keputusan revisi UU KPK adalah bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Said menjelaskan, dalam perubahan UU KPK jelas disebutkan bahwa penyadapan dilakukan setelah mendapatkan bukti permulaan yang cukup. Selain itu, dalam draf revisi juga disebutkan bahwa penyadapan boleh dilakukan KPK harus seizin Dewan pengawas.
"Dewan Pengawas yang notabene dipilih oleh DPR, ini akan ada potensi conflic in interest. Padahal banyak gembong koruptor tertangkap OTT (operasi tangkap tangan) karena adanya penyadapan," jelas Said kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (10/9).
Lebih lanjut Said menyebut salah satu keistimewaan KPK itu ada pada OTT. Jika revisi UU KPK akan mengubah aturan soal penyadapan maka fungsi KPK hanya sebatas pencegahan, sedangan kewenangan penindakannya dikurangi.
"Revisi UU KPK sangat jelas untuk mempersempit ruang gerak KPK, Pasal 12 UU KPK, jelas bahwa dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK memiliki kewenangan melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Sedangkan, dalam revisi UU KPK, penyadapan hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan," pungkasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: