Terkait hal tersebut, pengamat politik dari Universitas Indonesia Ade Reza Hariyadi menyatakan bahwa proses terpilihnya Firli harus dihormati, karena dilakukan secara demokratis.
"Itu harus diterima sebagai konsekuensi dari mekanisme ketatanegaraan yang telah disepakati," ujar Ade saat dihubungi
Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (13/9).
Meski demikian, menurut Ade, harus diakui bahwa praktik demokrasi di Parlemen bisa dibilang tidak sempurna.
"Karena dianggap kurang responsif terhadap aspirasi publik yang mengkritisi proses seleksi hingga
fit and proper test, termasuk kontroversi mengenai Pak Firli," ungkapnya.
Atas hal tersebut, Ade menyebut bahwa ini bisa berpengaruh terhadap legitimasi dan kepercayaan publik terhadap komposisi pimpinan KPK yang baru.
Oleh karena itu, Ade menyarankan perlu adanya gebrakan besar dalam 100 hari kerja pimpinan KPK terpilih ini.
"Fokus kepada kasus-kasus besar dengan potensi kerugian negara dalam skala besar," tegas Ade.
"Kesan KPK cenderung bekerja dengan pola populis dan cari aman dengan menyasar kasus-kasus 'kecil' di level daerah harus dibantah dengan kinerja KPK pada kasus megakorupsi," pungkasnya.
Terpilihnya Firli memang mengundang pro dan kontra. Karena dia diduga telah melanggar kode etik saat bertugas di Deputi Penindakan KPK.
Untuk diketahui, lima nama pimpinan KPK terpilih adalah Nawawi Pamolango, Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron, Alexander Marwata, dan Firli Bahuri.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: