Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jika Mau, Presiden Bisa BG-kan Firli

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/said-salahudin-5'>SAID SALAHUDIN</a>
OLEH: SAID SALAHUDIN
  • Selasa, 17 September 2019, 18:50 WIB
Jika Mau, Presiden Bisa BG-kan Firli
Firli Bahuri/RMOL
MUNCULNYA suara-suara penolakan atas dipilihnya Irjen (Pol) Firli Bahuri sebagai Ketua KPK oleh DPR dapat saja berujung pada batalnya Firli berkantor di Gedung Merah Putih.

Kuncinya ada pada Presiden. Jika Presiden berkehendak untuk menggunakan cara yang pernah ia pakai saat membatalkan Budi Gunawan sebagai Kapolri, maka Firli pun bisa batal menjadi pimpinan KPK.

Polemik yang muncul di masyarakat terkait terpilihnya Firli sebagai Ketua KPK pasti telah diketahui oleh Presiden. Suara-suara itu tentu penting, sehingga wajar untuk didengar dan dipertimbangkan oleh Presiden.

Presiden sendiri punya waktu 30 hari kerja untuk memikirkan dan menimbang-nimbang pendapat dan masukan dari masyarakat, terhitung sejak DPR menyampaikan secara resmi nama-nama pimpinan KPK yang sudah dipilih kepada Presiden.

Dalam hal Presiden menilai pilihan DPR sudah selaras dengan kehendak rakyat yang sejati, maka Presiden hanya perlu meyakinkan publik bahwa Firli memiliki peluang untuk memperbaiki KPK, sehingga perlu diberikan kesempatan memimpin lembaga itu.

Tetapi sebaliknya, dalam hal getaran-getaran kekhawatiran publik yang menolak Firli ditangkap Presiden sebagai suara-suara kebenaran, maka pilihan DPR atas Firli dapat saja dimentahkan oleh Presiden.

Dalam Pasal 30 ayat (13) UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), Presiden memang diwajibkan untuk menetapkan calon Pimpinan KPK yang sudah dipilih oleh DPR. Artinya, siapa yang dipilih DPR, itulah yang harus dilantik oleh Presiden.

Tetapi terkait pengisian jabatan yang melibatkan lembaga Presiden dan DPR, pernah juga ada preseden dimana Presiden batal melantik calon pejabat yang sebelumnya sudah disetujui oleh DPR.

Peristiwa itu bisa kita lihat pada kasus Komjen (Pol) Budi Gunawan (BG) yang batal dilantik sebagai Kapolri. Padahal, BG diusulkan sendiri oleh Presiden kepada DPR, dan DPR pun sudah memberikan persetujuannya.

Tetapi karena pada saat itu muncul arus penolakan yang cukup deras dari masyarakat terhadap figur BG, maka Presiden akhirnya memutuskan untuk membatalkan pelantikan BG sebagai Kapolri.  

Nah, pada kasus Firli sekarang pun sebetulnya Presiden bisa saja mengambil kebijakan serupa. Dalam hal Presiden akhirnya setuju pada pendapat dan masukan masyarakat yang menolak figur Firli, maka walaupun yang bersangkutan sudah dipilih oleh DPR, Presiden bisa saja mem-BG-kan Firli.

Jadi, kalau dulu Presiden pernah membatalkan pelantikan BG sebagai Kapolri, maka sekarang pun Presiden bisa saja membatalkan pelantikan Firli sebagai pimpinan KPK.

Tetapi semuanya berpulang kembali kepada diri Presiden: Mau atau tidak mau? Berani atau tidak berani? Itu saja.

Bahwa kemudian muncul pendapat: Kasus BG berbeda dengan kasus Firli sehingga kebijakan Presiden terhadap BG tidak bisa diberlakukan terhadap Firli, biarlah hal itu menjadi pertimbangan Presiden.

Termasuk jika ada yang mengatakan kewenangan DPR dalam memberikan "persetujuan" dan "memilih" calon pejabat negara memiliki derajat yang berbeda dalam perspektif hukum tata negara, biarlah hal itu nanti menjadi diskursus akademik yang menarik.

Yang penting bagi Presiden sekarang adalah mempersiapkan alasan-alasan yang bersifat logis dalam hal ia memutuskan untuk membatalkan pelantikan Firli sebagai pimpinan KPK guna disampaikan kepada partai-partai politik yang ada di parlemen. rmol news logo article

Said Salahudin
Pemerhati kenegaraan, Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma).

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA