Begitu urai pendiri dan analis Drone Emprit Akademik, Ismail Fahmi dalam diskusi di Kantor Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (18/9).
“Ada pola operasi di medsos. Kita perhatikan, di medsos itu sebenarnya simpel saja. Ketika ada sebuah hal yang ingin dicapai, maka publik dibombardir dengan narasi. Dan narasi itu butuh semacam labelling," ujarnya.
Selama ini, lanjut dia, label yang paling efektif memberikan dampak di medsos adalah soal khilafah dan radikalisme. Sementara untuk KPK, narasi yang dikembangkan adalah soal isu taliban yang ada dalam lembaga itu.
Kemudian, yang dipakai ketika membangun narasi Taliban dalam KPK adalah lewat tulisan, video, gambar.
Rangkuman informasi ini lantas dibombardir terus-menerus, sehingga dampaknya orang yang semula percaya kepada KPK menjadi ragu-ragu.
Strategi selanjutnya, kata Ismail, menyerang tokoh tertentu di KPK. Ismail menyebut nama penyidik KPK Novel Baswedan yang disangkutpautkan dengan Taliban.
"Narasi yang dibangun kan bukan soal benar salah informasi itu ya. Yang berusaha disasar adalah keragu-raguan. Supaya publik ragu kepada KPK,†terangnya.
Kata Ismail, narasi yang dibangun bisa dikatakan berhasil andai lebih dari 20 persen orang yang semula percaya KPK mulai mengalami keragu-raguan.
Menurut Ismail, Twitter merupakan medsos yang sangat efektif untuk membangun narasi pelemahan KPK. Lewat Twitter, pasukan cyber (
cyber troops) yang mempengaruhi publik bisa muncul lewat buzzer dan influencer.
"Trending topic itu mereka gunakan dengan hestek. Mereka tidak peduli apakah itu topik banyak gunakan robot atau tidak. Ini dilakukan terus menerus, hari ini ada. Besok ada. Dan seterusnya. Akibatnya terbangun suatu narasi dan akhirnya publik pasrah menerima,†paparnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: