Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Masyarakat Mendukung RUU PAS Yang Lebih Ramah HAM

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/yelas-kaparino-1'>YELAS KAPARINO</a>
LAPORAN: YELAS KAPARINO
  • Rabu, 02 Oktober 2019, 13:28 WIB
Masyarakat Mendukung RUU PAS Yang Lebih Ramah HAM
Dirjen PAS Sri Puguh Budi Utami/RMOL
rmol news logo Maraknya gerakan massa mahasiswa dan masyarakat yang menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) turut berimbas kepada Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan (RUU PAS) yang ikut ditunda pengesahannya.

Padahal, RUU PAS menjadi salah satu bagian dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2003 itu memuat berbagai muatan substantial baru yang lebih ramah akan hak asasi manusia (HAM) sebagaimana seharusnya.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS menyadari arti penting partisipasi masyarakat terutama kalangan yang secara langsung terkena dampak penerapan sebuah UU. Untuk itu, Ditjen PAS telah menggelar "Sosialiasi dan Diskusi RUU PAS" serentak di seluruh Indonesia mulai dari tanggal 24 September 2019 dengan mengikutsertakan parsitipasi masyarakat seluas-luasnya.

"Ini menjadi strategi lanjutan kami agar masyarakat mengetahui lebih jauh bagaimana Pemasyarakatan berjalan," kata Dirjen Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami di Jakarta, Rabu (2/10).

Apalagi, kata Utami, di dalam RUU PAS itu pun termaktub jaminan regulasi bagi masyarakat, yakni mereka mendapatkan perlindungan dari pengulangan tindak pidana.

Sosialisasi berlangsung menyeluruh, baik di tingkat pusat, wilayah dan daerah dengan mengundang berbagai unsur masyarakat. Tak hanya kalangan mahasiswa dan akademisi, para penggiat media, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemerhati hukum, hingga tokoh masyarakat setempat pun terlibat penuh.

"Mengapa kami mengundang begitu banyak elemen masyarakat? Tak lain agar semua memiliki pemahaman yang sama. Agar tak ada lagi misinterpretasi dan multitafsir seperti yang sering terjadi," kata Dirjen Utami.

Dirjen PAS melihat potensi bias dan multitafsir sangat besar, melihat latar belakang masyarakat yang beragam.

"Komunikasi yang terjalin dalam forum juga membuat kami mengerti bagaimana sebenarnya pemahaman masyarakat terhadap kebijakan pemerintah," ujar Utami.

Tingginya antusiasme masyarakat terlihat jelas selama kegiatan sosialisasi dan diskusi itu berlangsung. Oman, dari LSM Persatuan Antar Suku Indonesia, misalnya. Saat mengikuti sosialisasi untuk wilayah Bogor Raya di Lapas Kelas II Cibinong, ia memberikan saran terkait fasilitas dan prosedur kunjungan khusus bagi narapidana yang sudah berumah tangga. Ia juga melontarkan pertanyaan lain terkait perlakuan terhadap narapidana.

Bagaimana cara memperlakukan warga binaan sesuai level kerawanannya dan bagaimana RUU PAS menjawab penyimpangan yang terjadi selama ini, misalnya penyalahgunaan izin keluar berobat bagi narapidana?

Kesempatan sosialisasi dan diskusi RUU tersebut juga dimanfaatkan akademisi dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, hingga Universitas Bosowa Makassar, untuk menyampaikan aspirasi. Mereka berharap, tata cara perlakuan terhadap warga binaan serta penjelasan muatan dan istilah baru dalam RUU PAS dapat disosialisasikan lebih luas masyarakat.

"Miskomunikasi terjadi dikarenakan masyarakat belum paham apa saja muatan yang ada di dalam RUU PAS. Seyogyanya segera lakukan sosialisasi bahwa tidak ada hal yang perlu ditakutkan dalam RUU Pemasyarakatan yang ada," kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Bosowa, Ruslan Renggong, saat mengikuti sosialisasi dan diskusi RUU PAS di Aula Lapas Kelas I Makassar.

Hal serupa terjadi di berbagai daerah tempat kegiatan serupa dilakukan. Buktinya, kegiatan "Sosialisasi dan Diskusi RUU PAS" tersebut menghasilkan berbagai dukungan masyarakat dalam bentuk surat pernyataan dari setiap peserta di seluruh Indonesia agar RUU tersebut segera disahkan.

Dukungan pengesahan RUU PAS juga dinyatakan Direktur Eksekutif Center for Detention Studies (CDS), M. Ali Arranoval.

Ali menyebut substansi RUU Pemasyarakatan tidak seperti yang dibicarakan akhir-akhir ini. Ia meyakini, RUU PAS menjadi jawaban upaya perbaikan kebobrokan pemasyarakan yang ada saat ini.

"Kami mendorong agar penundaan RUU PAS ini jangan lama-lama. Semoga Presiden dan DPR dapat melihat RUU ini secara utuh dan sesegera mungkin melegalisasinya," kata Ali.

Ali juga khawatir penundaan justru akan berdampak buruk pada rencana penguatan sistem kelembagaan, budaya kerja, pola pendekatan penanganan tahanan dan narapidana, modernisasi teknologi informasi dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan, serta partisipasi masyarakat yang sangat dimungkinkan dalam RUU tersebut.

Padahal, kata dia, bila RUU PAS segera disahkan, akan ada beberapa persoalan yang segera bisa ditangani. Pertama, soal lapas overcrowding. Kedua, jika RUU itu tak kunjung disahkan, dikuatirkan program menekan angka residivis akan terganggu karena RUU PAS mengatur penguatan peran pembimbingan Balai Pemasyarakatan (Bapas) terhadap narapidana yang sedang dalam pengawasan, menjalankan pidana, dan bebas bersyarat. Ketiga, dengan ditunda maka persoalan lemahnya perlindungan terhadap kelompok rentan seperti anak, perempuan, lansia dan disabilitas masih akan menjadi persoalan besar. Ketentuan yang memperkuat perlindungan terhadap kelompok rentan itu diatur dengan tegas dalam Pasal 61 RUU Pemasyarakatan.

Keempat, penundaan akan membuat penerapan kebijakan sistem penilaian pembinaan, yang dalam RUU PAS ada aturan untuk mencatat seluruh aktivitas tahanan dan narapidana. "Ini disebutcorrection based evidence," kata Ali. Kelima, penundaan akan membuat modernisasi tata kelola pemasyarakatan dengan menggunakan teknologi informasi pun akan tertunda.

Sementara itu praktisi hukum pidana Andri Gunawan menilai Pasal 94 RUU PAS yang dikhawatirkan beberapa kalangan itu telah sesuai dengan prinsip-prinsip internasional, UUD 1945, dan peraturan perundang-undangan lain. PP No. 99 Tahun 2012 itu merupakan perubahan atas PP No. 32 Tahun 1999 dimana PP Nomor 99 Tahun 2012 memperketat pemberian hak remisi dan pembebasan bersyarat.

"Di sisi lain," kata Andri, dalam Bab Ketentuan Peralihan Pasal 94 ayat (2) RUU Pemasyarakatan tertulis, "PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dinyatakan masih tetap berlaku." Artinya, kata dia, sebenarnya kekhawatiran itu tidak beralasan. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA