Menanggapi hal ini, Kolonel Penerbang (Pnb) Supri Abu mengatakan Indonesia harus berhati-hati terhadap dua hal dalam pembahasan
framework tersebut.
Pertama, dalam
framework tersebut disebutkan bahwa FIR tidak berhubungan dengan kedaulatan melainkan hanya sebatas
safety dan
efficiency. Padahal, FIR tak bisa dipisahkan dari kedaulatan sebuah negara.
"FIR tidak bisa dipisahkan dengan kedaulatan karena kalau ditarik, batas-batasnya sama dengan wilayah kedaulatan. Oleh karenanya yang mengelola FIR adalah negara yang berdaulat," ujar Kolonel Supri kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (10/10).
Kolonel Supri menjelaskan, beberapa negara yang berbatasan dengan laut bebas seperti Indonesia dan Australia memiliki ruang udara yang lebih besar dari wilayah kedaulatan, karena ruang udara di laut bebas tidak boleh kosong. Sehingga FIR tidak bisa dilepaskan dari kedaulatan suatu negara.
Kedua, dalam
framework itu Indonesia mengakui bahwa Singapura punya hak melakukan military training area di Laut China Selatan berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 Artikel 51.
"Padahal selama ini kita tahu kalau Singapura itu men-declare wilayah latihannya itu sebagian besar di Indonesia. Kalau kita mengakui itu, ini sama saja dengan pengakuan diam-diam kita terhadap traning area tersebut," tegasnya.
Lebih lanjut, Kolonel Supri mengungkapkan kekhawatirannya perihal
framework ini. Apalagi
military training area menjadi kewenangan Kementerian Pertahanan, sedangkan FIR itu jadi urusan Kementerian Perhubungan.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: