Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Konsep Revitalisasi Pemasyarakatan Indonesia Jadi Acuan 9 Negara ASEAN

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/yelas-kaparino-1'>YELAS KAPARINO</a>
LAPORAN: YELAS KAPARINO
  • Jumat, 11 Oktober 2019, 15:45 WIB
Konsep Revitalisasi Pemasyarakatan Indonesia Jadi Acuan 9 Negara ASEAN
Dirjen PAS Sri Puguh Budi Utami membuka Workshop on Preventing Violent Extremism in Prison/Ist
rmol news logo Konsep revitalisasi pemasyarakatan yang tengah dijalankan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan HAM dinilai mampu menekan angka kekerasan dan ekstremitas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

Beberapa delegasi negara ASEAN bahkan mengaku siap menjadikan konsep revitalisasi pemasyarakatan di Indonesia sebagai acuan. Delegasi negara-negara seperti Lao PDR, Myanmar, Malaysia dan Thailand, misalnya, menegaskan revitalisasi pemasyarakatan di Indonesia layak menjadi benchmark.

Apresiasi terhadap konsep revitalisasi yang dijalankan Dirjen PAS tersebut mengemuka dalam Workshop on Preventing Violent Extremism in Prison yang digelar Ditjen PAS, bekerja sama dengan United Nations Office on Drug and Crime (UNODC). Workshop yang dihadiri perwakilan 10 negara ASEAN itu digelar di Hotel Grand Hyatt, Yogjakarta, 8-10 Oktober 2019.

Selain dihadiri wakil-wakil dari Brunei Darussalam, Kambodia, Lao PDR, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam, workshop juga dihadiri Country Manager UNODC Indonesia, Collie Brown, Charge d’Affaires Kedutaan Besar Kanada untuk Indonesia Geoffrey Dean, Wakil Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Kementerian Luar Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Yogyakarta, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah, Kepala Divisi Pemasyarakatan Yogyakarta, dan lain-lain.

Dalam sambutan pembukaan acara, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami menyatakan keyakinannya bahwa revitalisasi penyelenggaraan pemasyarakatan yang tengah dikembangkan dan diimplementasikan di seluruh Lapas dan rumah tahanan (Rutan) di Indonesia, bisa menjadi solusi untuk menangani ekstremisme di Lapas dan Rutan.

Utami menjelaskan, inti dari konsep revitalisasi tersebut adalah perubahan perilaku yang terjadi karena keberhasilan pembinaan kepribadian dan kemandirian yang diimplementasikan sekaligus dalam bentuk "produk" (barang maupun jasa) oleh warga binaan. Setiap keberhasilan dalam tahapan akan berimplikasi dengan pemberian "penghargaan" antara lain pemberian akses yang semakin longgar.

"Konsep ini juga akan menjadi metode penanganan narapidana berkategori ekstrimisme atau berisiko tinggi (high risk) di Indonesia," terang Utami.

Berdasarkan konsep revitalisasi pemasyarakatan tersebut, Indonesia telah mengembangkan kategorisasi lapas ke dalam empat kategori, yakni super maximum security, maximum security, medium security dan minimum security.

Penempatan narapidana pada masing-masing kategori tersebut, sambung Utami, didasarkan pada hasil assessment yang dibuat Pembimbing Kemasyarakatan.

"Ketika perilaku narapidana telah menunjukkan perubahan yang lebih baik dan dibuktikan berdasarkan assessment, maka narapidana bisa ditempatkan dari Lapas maximum security ke medium security, dan seterusnya hingga ia bebas," kata Dirjen.

Berkenaan dengan workshop, selain untuk menambah pengetahuan tentang penanganan kemungkinan ektremisme pada narapidana high risk, Dirjen PAS berharap kegiatan itu juga bisa menjadi momen bertukar pengalaman antarpegiat pemasyarakatan di negara-negara ASEAN.

Selama workshop peserta juga diajak berkunjung ke Lapas Jogjakarta dan Lapas Magelang. Dalam kunjungan tersebut beberapa delagasi menyampaikan apresiasi terhadap penyelenggaraan revitalisasi pemasyarakatan yang mereka saksikan.

"Lapas Magelang ini, walaupun lapas heritage namun telah dilengkapi sistem teknologi informasi (TI) dalam penyelenggaraannya. Sangat mengagumkan!" puji Sarihanan, salah seorang anggota delegasi Brunei Darussalam.

Saat diskusi terbuka, juga terkuak fakta adanya gejala overkapasitas di lapas-lapas negara-negara ASEAN. Selain Indonesia yang rata-rata mengalami 205 persen overcrowding, lapas-lapas di negara ASEAN lain pun mengalami hal yang sama.

Filipina, misalnya, mengalami overcrowding 190 persen, Bangladesh 150 persen, Thailand 220 persen, Kamboja 150 persen, Lao 125 persen, dan Myanmar yang mengalami kelebihan kapasitas 130 persen.

Rencana Aksi PBB

Sementara itu, Country Manager UNODC Indonesia, Collie Brown mengatakan, pencegahan ekstremisme dan kekerasan di lingkungan penjara merupakan hal yang telah lama menjadi keprihatinan PBB. Konsen untuk melindungi populasi lapas dari kekerasan dan radikalisasi, sambil tetap menegakkan prinsip manajemen pemasyarakatan yang baik, semakin mengemuka.

"Untuk itulah, Sekretaris Jenderal PBB sejak 2015 menyerukan rencana aksi untuk Pencegahan Ekstremisme Kekerasan (PVE). Intinya menyerukan pendekatan yang komprehensif, yang mencakup.. tidak hanya tindakan penanggulangan terorisme yang esensial, tetapi juga langkah-langkah pencegahan sistematis untuk mengatasi kondisi mendasar yang mendorong individu untuk meradikalisasi dan bergabung dengan kelompok ekstremis yang kejam," kata Brown.

Rencana aksi PBB tersebut, kata Brown, terutama untuk mencegah penyebaran ekstremisme kekerasan di antara komunitas penjara, sambil menegakkan perlindungan dan hak asasi manusia. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA