Pernyataan ini cukup membuktikan bagaimana perempuan masih dipandang sebelah mata di dalam kelompok sosial manapun.
Begitu kata peneliti sekaligus Staf Khusus Presiden RI tentang Isu Keagamaan, Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam panel discussion ASEAN Women Interfaith Dialogue di Sheraton Grand Jakarta Gandaria City Hotel, Jakarta, Selasa (12/11).
"Kebanyakan yang saya lihat di kelompok radikal, (perempuan) lebih menjadi
subordinated agency, bukan bagian
active agency. Even ketika mereka menjadi pengantin bom bunuh diri. Sulit bagi saya melihat mereka teremansipasi," ujarnya ketika ditemui di sela-sela acara.
Dalam sebuah doktrin utama kelompok-kelompok radikal, Siti menambahkan, tidak ada keistimewaan yang diberikan kepada wanita seperti halnya yang diberikan kepada laki-laki.
"Tidak ada perempuan yang mati syahid itu dijemput oleh tujuh bidadara," lanjut Siti seraya mengatakan bahwa kenyataan ini cukup getir bagi kaum hawa.
Sementara para laki-laki memiliki peran aktif, bahkan sentral. Perempuan dalam kelompok radikal justru dimanfaatkan untuk
sustainable kelompok. Di mana perempuan yang memiliki kemampuan reproduksi dimanfaatkan sebagai taktis semata.
Dalam panel discussion tersebut dimoderatori oleh Direktur Eksekutif ASEAN IPR Rezlan Ishar Jenie.
Sedangkan menemani Siti sebagai pembicara, ada perwakilan Filipina untuk ASEAN-IPR Elizabeth Buensuceso dan Staf Kementerian Luar Negeri Australia Mia Urbano.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: