Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Adhie Massardi: Gagasan Tito Sudah Benar, Kaji Kembali Mekanisme Pilkada!

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ruslan-tambak-1'>RUSLAN TAMBAK</a>
LAPORAN: RUSLAN TAMBAK
  • Rabu, 13 November 2019, 17:27 WIB
Adhie Massardi: Gagasan Tito Sudah Benar, Kaji Kembali Mekanisme Pilkada!
Adhie Massardi/Net
rmol news logo Gagasan yang digulirkan Mendagri Tito Karnavian pekan lalu untuk mengkaji kembali mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) sudah benar. Karena kalau proses yang buruk ini tetap dipertahankan, dengan mengatasnamakan demokrasi, maka rakyat akan mencibir pada demokrasi itu sendiri.
 
Hal ini disampaikan inisiator Gerakan Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih Adhie M Massardi kepada wartawan siang ini (13/11) di Jakarta.
 
Menurut Adhie, pilkada langsung yang memakai resep UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah malpraktik politik paling merugikan rakyat Indonesia. Selain prosesnya menguras energi rakyat dan berbiaya sangat besar, hasilnya jauh panggang dari api.
 
Indikasi pilkada langsung tidak produktif bagi bangsa ini, sebenarnya sudah bisa dilihat sejak langkah pertama. Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Syaukani Hasan Rais, alias Pak Kaning, adalah produk pilkada langsung perdana yang juga masuk dalam daftar ‘kloter’ (kelompok tersangka) pertama kepala daerah yang dijerat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
 
“Kalangan elite dan intelektual kita selama ini memang banyak yang salah dalam mendiagnosa persoalan bangsa. Akibatnya, tentu saja terapinya, treatment-nya juga sudah pasti salah. Menghasilkan ‘malpraktik politik’ yang dampaknya merugikan kesehatan negara dan bangsa Indonesia,” kata jubir presiden era Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) ini.
 
Terkait pilkada langsung, menurut tokoh Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini, proses kelahirannya diwarnai euforia liberalisasi politik kelompok elite (politik) baru, dengan kedok “membebaskan” penentuan pejabat publik dari genggaman partai politik yang korup yang menghegemoni penuh ruang-ruang di lembaga perwakilan rakyat (daerah).
 
Padahal dalam praktiknya, pilkada langsung yang menafikan konsensus bangsa Indonesia yang diabadikan dalam sila ke-4 Pancasila (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam persmusyawaran/perwakilan) itu, meskipun dibuka celah kecil untuk calon independen, tapi pintu utama penentu lahirnya pejabat publik tetapberada di tangan parpol.
 
Kata Adhie, pilkada langsung berakibat menyulap demokrasi menjadi biaya ultra tinggi dua kali lipat lebih. Karena selain kandidat tetap harus mengeluarkan uang untuk membeli “tiket” pilkada ke parpol, ia juga harus belanja sosial yang bisa jadi lebih mahal: untuk membayar lembaga survei, sosialisasi ke seluruh para pemilih di seluruh pelosok dapil (daerah pemilihan), membayar saksi, tim kampanye, serangan fajar, dll.
 
Mereka tidak pahami bahwa hakekat mekanisme demokratis dalam konteks pilkada sebenarnya adalah adanya transparansi, keterbukaan dalam penjaringan kandidat, dan akuntabilitas serta kredibilitas pelaksanaan pemilihannya. Bukan sekedar dipilih oleh sebanyak-banyaknya orang.
 
“Saya percaya Mendagri Tito Karnavian akan melakukan diagnosa (kajian) yang benar dan komprehensif, sehingga punya resep yang lebih tepat dalam membenahi pilkada kita. Bukan lagi sekedar mempersoalkan mekanisme (cara) memilihnya, karena dalam masyarakat yang multi-heterogen seperti Indonesia, jauh lebih penting menentukan siapa yang layak dipilih dibandingkan dengan menentukan cara memilihnya,” tandas Adhie.
 
“Secara akal sehat, dua pasangan calon (paslon) atau lebih yang semuanya lolos melalui mekanisme yang kotor, dipilih dengan cara apa pun, bisa dipastikan akan menghasilnya paslon yang kotor. Sebaliknya, sejumlah kandidat yang melewati proses yang sehat, dipilih dengan cara apa pun akan menghasilkan kandidat yang juga sehat,” kata Adhie.

Adhie mengusulkan, sebaiknya Tito menggunakan kewenangannya untuk mengaja parpol dalam menentukan setiap calon Pilkada. Terpenting, Adhie menekankan agar Tito mampu menjalankan sistem pilkada yang akuntabel dan transparan.

"Misalnya dengan mewajibkan semua parpol menggelar konvensi (pilkada) yang transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan akuntabelitas serta kredibelitasnya, dipilih para anggota DPRD sambil tutup mata pun hasilnya, insya Allah, akan membawa berkah bagi rakyat di daerah,” urai Adhie.
 
“Benar, yang akan menolak secara lantang gagasan Mendagri Tito ini adalah kelompok-kelompok kepentingan, terutama para akademisi penyelenggara biro survei, yang lahan utama bisnisnya pilkada langsung. Kelompok mereka itulah yang tempo hari menggalang opini menolak pilkada tak langsung,” tambahnya.
 
Opini yang digalang oleh kelompok kepentingan itu, sebut Adhi yang membuat gentar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sehingga untuk meredamnya, SBY menerbitkan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Perppu Nomor 1/2014 untuk melikuidasi UU 22/2014, dan Perppu 2/2014 yang berisi perubahan atas UU 23/2014, yang membuat pilkada tetap digelar langsung.
 
“Jadi pilkada langsung atau tidak langsung akan ditentukan oleh hal yang sama. Maka pilihan tergantung pada Mendagri Tito, mau mendengarkan suara mereka atau mendengarkan kehendak rakyat yang ingin memiliki kepala daerah yang membawa berkah,” pungkas Adhie Massardi.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA