Selamat Idul Fitri
Selamat Idul Fitri Mobile
Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pilkada Lewat DPRD Hampir Kembali Diberlakukan Di Era SBY

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Rabu, 13 November 2019, 18:50 WIB
Pilkada Lewat DPRD Hampir Kembali Diberlakukan Di Era SBY
Susilo Bambang Yudhoyono/Net
rmol news logo Sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) menjadi polemik. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian didesak untuk segera menentukan kebijakannya.

Tito mengatakan ingin mengkaji sistem pilkada langsung, karena sistem itu memiliki sisi negatif meskipun bermanfaat bagi partisipasi demokrasi.

Menurut Tito, pilkada langsung memiliki kekurangan yaitu biaya yang tinggi.

"Kita lihat sisi mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi," Tito menyampaikan hal itu beberapa waktu lalu, di Komplek DPR, Senayan, Jakarta.

Tito mengatakan perlunya riset akademik untuk mengkaji dampak positif dan negatif pilkada langsung.

"Lakukan riset akademik. Kami dari Kemendagri akan melakukan itu," katanya.

Tito juga mempertanyakan apakah Pilkada langsung masih relevan saat ini.

"Tapi kalau dari saya sendiri justru pertanyaan saya adalah apakah sistem politik pemilu pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun," kata Tito.

Di era Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), wacana pilkada kembali ke DPRD sebenarnya pernah hampir diberlakukan.

Saat itu DPR mengesahkan UU 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur pelaksanaan pilkada tidak langsung alias dewat DPRD.

Ada pula UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tugas dan wewenang DPRD provinsi untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada presiden melalui menteri dalam negeri, untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian.

UU itu juga memberi tugas dan wewenang kepada DPRD kabupaten/kota untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/walikota dan atau wakil bupati/wakil walikota kepada menteri dalam negeri melalui gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian.

Karena menuai banyak kritik, akhirnya SBY merespons dengan menerbitkan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) 1/2014 yang sekaligus mencabut UU 22/2014. Adapun berikutnya Perpu 2/2014 yang berisi perubahan atas UU  23/2014. Pilkada tak langsung pun tidak jadi diberlakukan.

Inisiator Gerakan Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih Adhie M. Massardi kepada wartawan, Rabu (13/11), mengatakan bahwa pilkada langsung yang memakai resep UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah malpraktik politik paling merugikan rakyat Indonesia. Selain prosesnya menguras energi rakyat dan berbiaya sangat besar, hasilnya jauh panggang dari api.

Menurut Adhie, pilkada langsung berakibat menyulap demokrasi menjadi biaya ultra tinggi dua kali lipat lebih. Karena selain kandidat tetap harus mengeluarkan uang untuk membeli "tiket" pilkada ke parpol, dia juga harus belanja sosial yang bisa jadi lebih mahal: untuk membayar lembaga survei, sosialisasi ke seluruh para pemilih di seluruh pelosok dapil, membayar saksi, tim kampanye, serangan fajar dan lain-lain. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA