Pernyataan kembali disampaikan Humphrey di acara diskusi publik bertemakan "Bola Liar Amandemen Konstitusi: Reformasi Dikorupsi vs Reformasi Partai" yang diselenggarakan PARA Syndicate, di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan, Jumat (29/11).
"Kami berdua menyadari betul bahwa penyatuan PPP merupakan
conditio sine qua non, syarat mutlak awal bagi PPP yang besar dan kuat," ucap Humphrey di lokasi acara.
Kesepakatan antar dua kubu tersebut atas dasar adanya konflik internal PPP yang berlangsung kurang lebih lima tahun. Konflik tersebut menyebabkan partai berlambang kabah tersebut terpecah secara struktural dan sempurna baik dari tingkat bawah sampai tingkat tertinggi.
"Terjadilah dualisme kepengurusan dalam struktur organisasi baik di DPP, DPW, DPC, dan ranting paling bawah. Bahkan perpecahan tersebut sudah masuk ke akar rumput dan konstituen PPP," katanya.
Atas konflik di internal PPP tersebut, PPP dianggap sebagai partai buruk padahal sebelumnya dikenal sebagai partai Islam yang besar dan kuat. Kondisi itu mengakibatkan PPP nyaris tidak lolos
parliamentary threshold pada Pemilu 2019 dengan hanya mendapatkan 4,52 persen (19 kursi di DPR RI).
"Di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota ibaratnya PPP sudah hancur lebur karena hanya memperoleh kursi yang sangat minimal. PPP di DKI Jakarta contohnya, pada pemilu sebelumnya menguasai 10 kursi di DPRD namun saat ini hanya meraih satu kursi," jelas Humphrey.
Oleh karena itu, Humphrey dan Suharso tidak ingin PPP pecah dan kembali bersatu menjadi partai Islam yang kuat.
"Kami tidak menginginkan PPP hilang dalam sejarah, karena itu pesan ini tidak bisa ditawar, penyatuan dan perubahan PPP sebuah keharusan. Ini panggilan sejarah, PPP secara sadar harus melakukan reformasi partai politik di dalam dirinya sendiri," tandasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: