Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Halal Institute: KMA 982 Jangan Dibajak Aktor Non-Negara

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Jumat, 06 Desember 2019, 15:11 WIB
Halal Institute: KMA 982 Jangan Dibajak Aktor Non-Negara
Ketua Harian Halal Institute, H SJ Arifin/Istimewa
rmol news logo Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 982 Tahun 2019 tentang Layanan Sertifikasi Halal memicu polemik.

KMA yang dikeluarkan pada 12 November 2019 ini memuat kebijakan diskresi yang mengukuhkan kerja sama BPJPH, MUI, dan LPPOM MUI dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (JPH).

Diskresi ini diberlakukan karena sejak pemberlakuan UU JPH pada 17 Oktober 2019, belum ada peraturan menteri keuangan tentang tarif sertifikasi halal. Padahal peraturan tarif menjadi salah satu dasar pijakan layanan sertifikasi halal oleh BPJPH. Kondisi ini lah yang dikhawatirkan akan mengganggu layanan sertifikasi halal, yang kemudian menyebabkan lahirnya KMA 982.   

Toh KMA 982 tidak lantas jadi sebuah solusi. Karena pihak Halal Center dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), juga pelaku usaha, menilai KMA ini telah mencederai undang-undang dan peraturan di bawahnya.

LPH-LPH yang rata-rata berasal dari perguruan tinggi negeri dan ormas Islam menilai KMA ini menilai KMA 982 hanya akan mengembalikan monopoli LPPOM MUI. Sedangkan pelaku usaha menilai KMA 982 menyebabkan layanan sertifikasi halal semakin rumit.   

Dihubungi melalui telepon, Ketua Harian Halal Institute, H SJ Arifin menyatakan KMA 982 memiliki banyak cacat. Bahkan terindikasi ada penumpang gelap di dalamnya.

“Ini kan persoalan awalnya adalah soal tarif Menkeu yang belum keluar, kok tiba-tiba ada penetapan LPPOM MUI sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa halal. Masalah tarif kok melompat jadi soal kewenangan. Ini ada apa sebenarnya?” ucap Arifin.

Ditanya mengenai sumber kecacatan KMA 982, Arifin menjelaskan, “Lihat saja konsideran menimbang huruf b, dari mana menteri menyatakan kerja sama BPJPH dengan LPPOM MUI sesuai ketentuan peraturan perundangan? Peraturan yang mana? Kemudian lihat juga putusan diktum kedua huruf c, memberi kewenangan LPPOM MUI, itu dasarnya apa?”

“Itu kan mematikan LPH-LPH yang sudah didirikan PTN, NU, Muhammadiyah, dll. Katanya terbuka, kok malah monopoli lagi? Tidak bisa dong kebijakan diskresi tapi melanggar banyak peraturan,” sambungnya.

Soal hanya LPPOM MUI yang sah sebagai LPH, Arifin menjelaskan bahwa persoalan ini harus dikembalikan ke masalah utamanya. Salah satu penyebabnya adalah karena calon auditor halal LPH belum disertifikasi oleh MUI.

“Kan itu calon-calon auditor sudah lama lulus diklat, kenapa tidak segera disertifikasi oleh MUI. Berarti MUI nya dong yang belum siap melaksanakan sertifikasi. Ini kan seperti bottle neck, salurannya hanya satu, MUI. Makanya tersumbat. Jadi calon auditor halal yang telah lulus diklat terbengkalai. Kemudian LPH nya menjadi tidak terakreditasi. Kok saya melihat semuanya berhubungan ya. Mudah-mudahan ini tidak disengaja,” papar Arifin.

Sementara mengenai persoalan belum adanya peraturan tentang tarif layanan sertifikasi halal dari menteri keuangan, Arifin menuturkan bahwa seharusnya dapat diatasi dengan pengusulan kepada Menteri Keuangan.

Kewenangan penetapan tarif layanan sertifikasi halal dapat didelegasikan kepada menteri agama atau kepala BPJPH sebagai BLU, sesuai dengan Pasal 9 ayat (9) dan (10) PP Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan Pasal 9 dan 10 Permenkeu Nomor 100/PMK.05/2016 tentang Pedoman Umum Penyusunan Tarif Layanan Badan Layanan Umum.

“Ini kan sebenarnya persoalan mudah, kenapa jadi berbelit ya. BPJPH sebagai BLU bisa kok menerbitkan tarif sementara. Ini kan malah lari ke mana-mana yang ujungnya adalah monopoli lagi. Semoga kementerian agama evaluasi semuanya, tidak mudah ditunggangi kepentingan-kepentingan aktor nonnegara,” sambungnya.

Arifin pun mengingatkan kepada semua pihak, bahwa UU JPH ini semangatnya untuk membuktikan negara hadir membebaskan dan menjaga rakyat, khususnya umat Islam Indonesia. Jadi jangan sampai ada peraturan yang malah menjauhkan rakyat dari negaranya karena diambil alih oleh aktor nonnegara.

"Ini juga bertolak belakang dengan misi yang diberikan presiden kepada tiap kementerian yakni untuk memudahkan, memurahkan, dan mencipta lapangan kerja baru. Jangan ada yang terindikasi merusak rencana presiden untuk menyejahterakan rakyat dan umat Islam,” pungkasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA